***
Lisa melangkah pulang dengan selembar kertas dalam remasan tangannya. Ekspresi sedih yang Jiyong tunjukan padanya tadi, terus muncul dalam ingatannya. Beberapa waktu terakhir ini, Lisa selalu marah selepas bertengkar dengan Jiyong. Selama beberapa waktu terakhir ini, ia selalu menyalahkan suaminya atas semua yang terjadi. Kini, setelah pria itu mengatakan kalau dirinya lelah, kalau ia muak, hati Lisa terluka.
"Kenapa aku tidak pernah menyadarinya? Kenapa aku tidak mengetahui apapun?" Lisa penasaran, jadi siapa dirinya selama beberapa tahun terakhir ini. Penasaran, kenapa ia tidak mengenali dirinya sendiri selama pernikahan mereka.
Sepanjang jalan ke rumah, gadis itu menangis. Berkali-kali ia hapus air matanya, berkali-kali juga ia usap wajahnya. Terus melangkah sampai kakinya akhirnya sampai ke rumah. "Apa rumah ini dikutuk? Kenapa hubungan kami jadi begini?" pikirnya, sebab ia merasa hubungan mereka sangat baik dulu. Mereka saling mencintai, saling memahami sampai berencana untuk hidup bersama selama-lamanya. Namun setelah menikah dan hidup bersama, kenapa semuanya berubah? Kenapa semuanya terasa begitu asing? Kemana perginya semua cinta dan pengertian itu?
Lisa lebih beruntung, sebab disaat-saat begini, ia punya rumah untuk bersembunyi. Meski tinggal sendirian disana akan terasa sepi, rasanya itu tetap lebih baik dibanding berkeliaran dengan dada sesak. Tetap bekerja, tetap berlari, tetap bertemu orang-orang meski suasana hatinya masih sangat buruk.
Kalau bisa, Jiyong pun ingin beristirahat. Menangis meratapi hidupnya. Ia lelah berlari, kabur dari masalah sembari bersikap seolah segalanya baik. Tidak pernah sekalipun ia pergi bekerja karena ingin melupakan masalah rumah tangganya. Sampai malam itu, meski bertengkar, ia tidak pernah pergi meninggalkan rumah. Namun kali ini rasanya berbeda. Ia harus pergi dari sana, rumah itu bukanlah tempat untuknya. Meski dalam surat-surat formalitas mereka berdua yang jadi pemilik rumahnya, malam itu, Jiyong sadar kalau ia tidak pernah jadi pemilik rumah itu. Ia hanya seorang pria yang mampir, menumpang tidur dan mandi di sana.
"Kau baik?" Seunghyun menegur Jiyong, yang sore ini baru sempat mengisi perutnya di restoran dekat kantor polisi. Sedari tadi Jiyong disibukan dengan hasil tangkapan mereka, dua dept collector yang menusuk krediturnya.
"Tidak," jawab Jiyong, dengan nada bicaranya yang kedengaran lelah. "Sepertinya aku butuh cuti," susulnya sementara lawan bicaranya mulai duduk dan memesan menu makan malam yang sama sepertinya.
"Sekarang?" Seunghyun bertanya dan Jiyong menganggukan kepalanya.
"Hm... Sekarang," angguk Jiyong. "Setelah banyak hal terjadi, baru sekarang aku ingin mengambil jatah cutiku," susulnya.
"Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak ingin membicarakan apa yang terjadi. Tapi kurasa aku perlu cuti secepatnya. Rasanya, aku akan gila kalau terus bekerja," pria itu mengeluh.
Seunghyun lantas mengangguk, mengatakan kalau ia akan membantu Jiyong mendapatkan jatah cutinya. Sejauh ini performa kerjanya bagus, bukan hanya sekedar profesionalisme kerja biasa.
Sedang Jiyong memutuskan untuk menghabiskan malamnya di kantor polisi-lagi, di rumah Lisa tengah menghapus air matanya. Gadis itu tidak bisa berhenti menangis. Pikirannya berkecamuk, menekan sel-sel di dalam otaknya, membuatnya tidak mampu untuk memikirkan sedikit pun hal positif.
Bukan hanya ia yang tidak bahagia dengan pernikahannya. Jiyong pun sama tidak bahagianya. Lisa baru menyadari hal itu hari ini, dan sekarang kesadarannya datang terlambat bersama penyesalan. Meski begitu, meski tahu kalau tersiksa bersamanya, Lisa tidak ingin menyerah begitu saja. Tidak ingin ia tanda tangani surat cerai itu. Tidak ingin ia akhiri pernikahannya.
Sembari menatap selembar kertas berantakan di atas meja, Lisa memeluk kuat-kuat kakinya, menumpukan kepalanya ke atas lututnya. "Benarkah tidak ada solusi lain selain berpisah?" Lisa tidak ingin berpisah. Tidak ingin ia kehilangan teman hidupnya. Tidak juga bisa ia bayangkan hidupnya tanpa pria itu. Memang selama ini Jiyong tidak selalu berada di sisinya, namun berpisah rasanya juga tidak akan jadi lebih baik.
Jiyong pulang dikeesokan harinya. Pria itu datang dengan tangan kosong. Melangkah masuk lantas bertukar tatap dengan Lisa yang masih duduk di sofa, sejak kemarin. Lisa menatap Jiyong, akan bangkit dan menghampirinya, namun niatnya urung sebab Jiyong menghela nafasnya. Helaan yang keras dan sedikit kasar. Pria itu dengan jelas memasang garis aman di sekitarnya, ia tidak ingin di dekati. Lisa bisa di dorong semakin jauh kalau memaksa mendekat.
Jiyong masuk ke dalam kamar tidur utama, lantas setelah merasa jarak merek cukup jauh—beberapa langkah, Lisa bergerak mendekat. Ia ikuti Jiyong dari belakang, sekali lagi pisau dilempar ke hatinya ketika dilihatnya Jiyong mengambil sebuah tas jinjing besar dari dalam lemari dan mulai mengemasi pakaiannya.
"Aku tidak ingin berpisah," suara Lisa bergetar, meraih lengan Jiyong agar behenti mengemasi pakaiannya. "Aku sungguh-sungguh, aku tidak ingin kita berpisah, jangan pergi," pinta gadis itu namun Jiyong meraih tangannya, melepaskan pegangan Lisa dari tangannya. Jelas, pria itu bersikeras untuk pergi. "Aku bersalah, aku bersalah dengan semua ucapanku. Aku minta maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan pergi ke psikiater, psikolog, semuanya akan aku lakukan. Aku akan berusaha, jadi jangan pergi," bujuk Lisa, membuat dada Jiyong ikut sesak karenanya.
Meski ia sangat ingin mengakhiri hubungan mereka, melihat Lisa memohon sembari menggosok-gosokan telapak tangan begitu, tetap membuat Jiyong kasihan, tetap membuat Jiyong sedih karenanya. Bisakah ia memberi satu kesempatan lagi pada hubungan mereka? Akan kah mereka bahagia kalau punya satu kesempatan terakhir? Jiyong tidak punya petunjuk apapun. Tidak ia tahu mana yang benar dan mana yang salah, apalagi keputusan terbaik untuk masalah mereka.
"Besok lusa," Jiyong akhirnya berkata, membuat Lisa berhenti memohon. "Besok lusa, di hari Sabtu, aku akan pulang dan kita bicarakan lagi semuanya," yakin pria itu. Mereka jelas perlu waktu untuk sekali lagi mengambil keputusan besar dalam hidupnya—bercerai.
Lisa tidak punya alasan apapun untuk menahan Jiyong. Meski sedih, ia biarkan pria itu pergi dari rumah dengan satu tas pakaiannya. Melihat mobil pria itu melaju, pergi meninggalkan rumah.
***
Besok mau kondangan, jadi ngga bisa update...
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...