32

468 83 3
                                    

***

Ruang pertemuannya berupa sebuah ruangan besar dengan empat pasang meja dan kursi. Masing-masing mejanya cukup untuk empat orang, dengan gagang kokoh untuk menggantungkan borgol di sisinya, meja kursinya berbahan besi berat, yang Lisa rasa mustahil untuk bisa diangkat. Seunghyun menarik kursi untuk Lisa setelah mereka masuk, mempersilahkan gadis itu untuk duduk di sebrang gagang besi.

"Tolong jangan memprovokasinya," pinta Seunghyun. "Tapi meskipun kau tidak sengaja melakukannya, jangan khawatir karena aku dan beberapa petugas di luar pasti akan melindungimu," susulnya, pada gadis yang kelihatan gugup di sebelahnya.

Tidak, Seunghyun salah. Lisa tidak gugup karena merasa terancam di dalam sana. Ia gugup, karena apa yang dibawanya. Sebentar mereka menunggu, sampai pintu terbuka dan tiga pria melangkah masuk. Ten berdiri di tengah dan ada dua sipir di sisinya. Seorang membuka dan menahan pintunya, sedang seorang lainnya mengantar Ten sampai ke meja, juga memasang borgol ke gagangnya di meja. .

"Ada apa denganmu?" Lisa bertanya, sebab Ten babak belur di depannya. Hidungnya patah, matanya lebam, sudut bibirnya terluka, wajahnya hampir terlihat seperti terung, memar keunggulan.

"Suamimu yang membuatnya begitu," bisik Seunghyun, sementara Ten belum menjawabnya. Bisikannya begitu pelan namun cukup untuk membuat Lisa menoleh dan menatap tajam pada Seunghyun di sebelahnya. Memastikan kalau ia tidak salah dengar, memastikan juga Seunghyun tidak membohonginya.

"Sungguh?" Lisa bertanya, menatap Seunghyun dan Ten bergantian. "Jiyong oppa yang melakukan itu padamu? Kau tidak salah lihat? Tidak salah mengenali orang?" susulnya, bertanya pada Ten yang hanya menaikan bahunya.

"Dia berhak melakukannya?" balas Ten, terdengar acuh. Seolah dipukuli separah itu tidak pernah menjadi masalahnya baginya.

"Berhak apanya? Augh! Aku minta maaf," Lisa bergerak bangkit, hendak menyentuh dan melihat luka Ten dari dekat, namun Seunghyun menahannya. Ten bisa menyakiti wanita itu lagi—nilai Seunghyun—dan kalau sampai itu terjadi, dia yang akan dapat masalah. "Aku mewakili suamiku untuk minta maaf. Sungguh, Ten, maaf, wajahmu jadi... jelek sekali... karenanya," kata Lisa. Ia tidak jadi menyentuh Ten karena Seunghyun.

"Kenapa kau ke sini?" Ten bertanya, sedikit canggung karena ada Seunghyun di depannya. Memperhatikannya, juga menilainya.

"Aku tidak jadi bercerai," Lisa berkata, setelah ia menimbang-nimbang keberadaan Seunghyun di sana. "Karenamu, aku tidak jadi bercerai. Kau benar, aku lemah dan itu membuatku jadi egois. Meski merasa sudah mandiri, tapi ternyata aku tidak begitu. Aku mengakui semua itu padanya, meski itu melukai harga diriku, lalu akhirnya kami bisa bicara dan memutuskan untuk tidak bercerai. Untuk pertama kalinya, aku mendengarkan keluhannya tanpa menyela,  Terimakasih."

"Selamat. Kau hanya datang untuk itu?" tanya Ten dan Lisa menggeleng. Selanjutnya gadis itu mengulurkan selembar foto, juga mengeluarkan sebuah kamera dari tasnya. Handycam lama, yang sudah usang.

Ten melihat selembar foto blur yang Lisa ulurkan, sedang Seunghyun melihat handycam-nya. "File aslinya ada di sana," Lisa menunjuk handycam-nya. "Tapi aku sudah menyalinnya tadi," susulnya.

Dalam foto blur itu, ada foto Ten yang diambil dari jarak dekat, tersenyum seolah itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya. Wajahnya memenuhi setengah foto, namun yang menarik adalah apa yang ada di belakang Ten. Di belakang Ten ada atap sekolah, kecil dan tidak sengaja terekam. Karina berdiri di atap itu, dan di depannya ada seorang pria dengan tangan terulur.

Rekaman dalam handycam justru lebih jelas lagi. "Hai, Ten!" suara Lisa yang riang terdengar dari sana, memanggil Ten dan membuatnya menoleh. Pria itu tersenyum, bergumam untuk menanggapi panggilan Lisa. "Setelah ini kau mau pergi ke Bellis bersamaku? Ayo kita kuliah di tempat yang sama," susul Lisa, merekam Ten yang menoleh dan menganggukan kepalanya.

"Ya, ayo kuliah ke Bellis. Aku akan mendaftar ke fakultas kedokteran," kata Ten sembari tersenyum, mengundang gelak tawa Lisa yang merekamnya, mengatakan kalau rencana itu terlalu muluk untuknya. Keduanya tertawa, sampai suara jatuh juga jeritan orang-orang menginterupsi. Selanjutnya Ten berbalik dan kameranya terjatuh, lalu di menit berikutnya, kamera itu bergetar, diambil dari tanah dengan suara Lisa yang bicara gagap pada orang lain. "Appa, jemput aku sekarang, aku takut," pinta Lisa sebelum akhirnya rekaman itu kabur dan mati begitu saja.

Dalam jeda antara suara Ten dan jeritan orang-orang, handycam itu berhasil merekam sesuatu yang tidak diperhatikan orang-orang. Seorang anak laki-laki mendorong Karina dari atap. Tidak sengaja terekam, dan faktanya tidak sengaja terkubur. Tidak seorang pun ingat kalau Lisa merekam dengan handycam-nya saat itu. Tidak seorang pun sadar kalau Lisa berada di luar bersama Ten, sebab Lisa melarikan diri lebih dulu, sebab Lisa langsung pergi ke Bellis hari itu juga.

"Selama ini kau memilikinya tapi tidak mengatakan apapun?" Ten bertanya setelah melihat rekaman handycam itu.

"Aku minta maaf," Lisa berkata. "Ingatanku samar tentang itu, aku jadi aku perlu memastikannya lebih dulu. Seandainya aku mengingatnya lebih cepat-"

"Seandainya kau tidak melarikan diri," potong Ten. "Seandainya, kau tidak bersembunyi diketiak ayahmu, Karina tidak akan disalahpahami!" bentaknya kemudian, memukulkan tangannya ke meja, membuat borgol serta meja besi itu beradu, melukai pergelangan tangannya sendiri.

"Maaf," bisik Lisa. "Aku minta maaf," katanya, dengan suara bergetar. Ten benar. Kalau saat itu ia tidak melarikan diri, semua hal buruk tidak akan terjadi pada hidup Ten. Ia tidak akan dituduh membual, tidak akan disebut pembohong, pencari perhatian, dan hidupnya tidak akan hancur seperti sekarang.

Ten berteriak, menyalahkan Lisa. Mengamuk sebab terlampau kecewa karena Lisa ternyata menyembunyikan fakta sebesar itu, selama bertahun-tahun. Ten merasa dikhianati, sebab tidak pernah terfikir olehnya, kalau Lisa akan memiliki bukti sebesar itu, sejelas itu. Ia salahkan Lisa atas hidupnya yang hancur. Ia salahkan Lisa atas semua hal mengerikan yang ia lakukan.

"Bajingan! Dasar pencuri! Kau penjahat sebenarnya, Lisa! Bisa-bisanya kau menyembunyikan bukti sejelas ini?! Kau sangat jahat, Lisa!" marah Ten, yang akhirnya diseret keluar dari ruangan itu dan Lisa merosot di kursinya. Bersandar ke kursi besi yang dingin, menghela nafasnya pasrah. Ia sudah menduga akan reaksi itu, namun hatinya tetap nyeri karenanya.

"Sebelum menyanderamu tempo hari, dia sudah dipenjara karena pembunuhan," Seunghyun memberitahu Lisa setelah mereka ditinggalkan berdua di sana. Menjelaskan alasannya khawatir Lisa terlalu dekat dengan temannya itu.

Lisa menoleh karenanya. Itu adalah informasi baru untuknya. Bahkan Jiyong tidak memberitahunya.

"Dia diberi dispensasi untuk keluar karena berkelakuan baik selama tiga tahun tinggal di sini. Hanya satu hari dan dia memakai hari itu untuk menyanderamu," susul Seunghyun.

"Jiyong oppa tahu?"

"Tentu saja," angguk Seunghyun.

"Siapa yang Ten bunuh?" tanyanya kemudian.

"Kim Yerim," Seunghyun menjawabnya, membuat Lisa mengerutkan dahinya. "Ten berfikir kalau Kim Yerim yang membunuh Karina," susulnya dan baru disaat itu lah, Lisa sadar kalau rekaman yang ia miliki telah membalik mejanya. Ten membunuh orang yang salah.

"Tapi kau sungguh tidak tahu kalau punya rekaman ini?" tanya Seunghyun dan Lisa menganggukan kepalanya. Sejak ia lulus sekolah, kemarin adalah kali pertama ia membuka lagi handycam-nya. "Orangtuamu juga tidak tahu tentang rekamannya?" sekali lagi Seunghyun bertanya dan sekali lagi Lisa menganggukan kepalanya. Kalau orangtua Lisa tahu, rekaman itu pasti sudah tidak ada—entah diberikan pada polisi, atau dihapus demi melindungi mental putri mereka yang terguncang.

***

Why Do Women Get Angry?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang