***
"Kenapa oppa marah?!" seru Lisa, mengekor pada Jiyong yang lebih dulu masuk ke dalam rumah. "Aku hanya bertanya kenapa kau terlihat berantakan sore ini! Apa itu salah?!" teriaknya, agar Jiyong yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah bisa mendengarnya.
"Bukankah aku yang harusnya marah?!" gadis itu terus berteriak, melampiaskan emosinya pada pria yang sekarang berada di dalam kamar mandi. Jiyong akan pergi mandi sekarang, karena Lisa menyebutnya berantakan. "Kenapa oppa yang marah?! Harusnya aku yang marah! Kenapa kau datang ke kantorku dengan penampilan seperti itu?! Kau tahu, kau akan bertemu rekan-rekan kerjaku! Tidak bisakah kau memakai parfum?! Aku sudah menaruh parfum di mobilmu! Aku juga menaruh peralatan mandi di sana! Kau biasa mandi di kantor polisi! Kenapa kau tidak berfikir untuk mandi dulu sebelum menjemputku?!" serunya.
Lisa awalnya bersyukur karena Jiyong datang menjemputnya, namun karena ucapan Dahyun tadi, kini ia merasa sangat kesal. Sampai Jiyong selesai mandi, gadis itu masih duduk di ranjang mereka, menatap sebal pada Jiyong. "Oppa hanya butuh lima menit untuk mandi, kenapa-" ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, sebab Jiyong yang sebelumnya sedang menyeka rambut, kini menatapnya. Tatapan pria itu terlihat sangat marah, terlihat sangat kesal.
"Apa aku membuatmu malu?" tanya Jiyong, meski tanpa nada tinggi, jika disandingkan dengan ekspresinya sekarang, jelas terlihat kalau ia sedang sangat marah.
"Bukan begitu," suara Lisa melemah.
Tentu sebagian dari dirinya tahu kalau ia sudah menyinggung perasaan Jiyong. Namun sebagian lainnya merasa kalau sikapnya sekarang sangatlah wajar. Ia sudah kesal seharian ini karena Dahyun dan suaminya. Ia ingin Jiyong datang untuk dibanggakan, untuk dipamerkan, untuk menyumpal mulut-mulut menyebalkan di kantor. Namun pria itu justru datang dalam keadaan berantakan.
Aroma koyo yang menyengat sebelumnya bukan masalah bagi Lisa. Ia bahkan sering membantu Jiyong memakaikannya. Ia tahu pekerjaan suaminya sering membuat pria itu pegal-pegal, terkilir bahkan terluka. Koyo dan obat-obatan lainnya tidak pernah menjadi masalah, sampai Dahyun menyebut Jiyong beraroma seperti kakek tua.
"Aku tahu oppa tidak akan memakainya kalau tidak sakit tapi hari ini aku harap tidak memakainya," gadis itu tertunduk. Ia ingin bercerita lebih banyak, namun Jiyong sudah lebih dulu meninggalkannya. "Setidaknya tidak di depan si berengsek Jaehyun dan Dahyun," gumamnya sekali lagi, menahan diri agar tidak menangis. Sebab akan jadi sangat memalukan kalau ia menangis setelah membuat Jiyong kesal.
Malam itu, Jiyong tidur di sofa. Ia enggan menemani Lisa di kamar mereka. Meski bahunya sakit, ia tetap memaksakan dirinya untuk berbaring di sofa, memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur. Sama seperti Jiyong yang tidak bisa tidur karena sakit di bahu juga hatinya, Lisa pun tidak bisa tidur di kamarnya.
Gadis itu berbaring dengan mata terbuka, berkedip menatap langit-langit ruangan. Meski hatinya terasa berat, ia tetap enggan untuk menghampiri Jiyong lebih dulu. "Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku hari ini," gerutu Lisa, mencoba mencari pembenaran atas sikapnya malam ini. Meski setengah dari dirinya tetap merasa bersalah.
Di tengah perang dingin itu, Lisa mendengar dering handphone dari dalam kamar mandi. Ia hampiri kamar mandinya, lantas mendengar suara deringnya berasal dari keranjang pakaian kotor di dekat pintu. Handphone Jiyong tertinggal di saku celananya dan Lisa menemukannya. Di sana, baru saja masuk sebuah panggilan dari Choi Seunghyun yang sudah berakhir sebelum sempat dijawab.
Lisa keluar, berencana memberikan handphone itu pada pemiliknya. Mungkin ada informasi penting yang harus didengar suaminya— nilai Lisa. Namun di ruang tamu, Jiyong yang berbaring dengan lengan menutupi matanya, membuat Lisa tidak berani untuk bicara. Maka ia letakan handphone pria itu di atas meja, lantas bergegas meninggalkannya.
Sampai pagi datang, Jiyong tidak masuk ke dalam kamar utama. Pria itu bahkan berangkat pergi sebelum istrinya terbangun. "Hhh... Apa dia sempat makan sebelum pergi?" Lisa menghela nafasnya, sebab tidak ada tanda-tanda aktivitas apapun di dapur. Jiyong pergi begitu saja, tanpa membangunkan Lisa, tanpa berpamitan, tanpa sarapan, bahkan tanpa makan malam. Meski akhirnya, Lisa pun mengikuti. Gadis itu pun pergi begitu saja, tanpa menelan apapun.
Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Sampai hari berakhir, sampai Lisa melangkah keluar meninggalkan tempat kerjanya, Jiyong tidak menghubunginya. Gadis itu menunggu. Berharap Jiyong akan mengiriminya pesan, mungkin sekedar bertanya apa gadis itu ingin dijemput atau penasaran dengan menu makan malam mereka. Namun tidak ada pesan apapun dan Lisa pun enggan mengiriminya pesan lebih dulu.
Berdalih ia ingin memberi Jiyong waktu untuk berfikir, gadis itu menunda rencananya untuk minta maaf. Meminta maaf memang selalu menjadi bagian yang lebih berat, bagian tersulit dalam pertengkaran. Dengan murung gadis itu pulang ke rumahnya. Ia mampir ke supermarket untuk berbelanja kemudian tiba di rumah dan mulai memasak untuk makan malam. Aku akan membuatkannya makan malam, dia pasti luluh dengan ini— pikir gadis itu namun sayang Tuhan tidak mendukungnya.
Jiyong akhirnya mengirim pesan lebih dulu. Namun pesan yang pria itu tulis, bukanlah pesan yang ingin Lisa baca. "Aku lembur hari ini, tidak perlu menungguku," kata Jiyong lewat pesannya. Gadis itu baru saja menyelesaikan supnya dan ia mematikan kompornya sebelum supnya mendidih. Ia terlanjur kesal sekarang.
"Kenapa oppa melarikan diri? Bukankah ada hal yang perlu kita bicarakan? Sampai kapan oppa akan begini?" tulis Lisa dalam pesan balasannya. "Kita sudah menikah. Sudah lebih dari satu tahun kita menikah, tapi oppa selalu begini. Kalau aku membuatmu marah, kau harusnya memberitahuku. Kita harusnya membicarakannya. Kenapa oppa justru mengabaikanku? Bagaimana aku tahu dimana letak kesalahanku kalau oppa tidak mengatakannya? Oppa bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku kemarin, tapi kau justru menambah masalahku," katanya lewat pesan panjang yang membuatnya harus meninggalkan sebentar supnya.
Sepintas Jiyong membaca pesan itu. Namun membacanya tidak lah membuat ia merasa lebih baik. Jadi ia simpan kembali handphonenya. Bersamaan dengan masuknya handphone itu ke dalam sakunya, Choi Seunghyun keluar dari ruang interogasi, menghampiri Jiyong kemudian menyuruh pria itu untuk masuk dan mendesak saksi kemarin. Mereka punya waktu 72 jam untuk menahannya tanpa surat penahanan dari kejaksaan.
Di rumah, tentu Lisa kesal sebab Jiyong mengabaikan pesannya. Namun terus kesal pun melelahkan. Karenanya, setelah beberapa jam menahan amarahnya, Lisa mencoba untuk pasrah. Mencoba untuk melupakan pertengkaran mereka kemarin. Mengabaikannya seolah itu tidak pernah terjadi.
Sampai ketika Jiyong pulang di pukul setengah sepuluh malam, Lisa yang masih terjaga untuk menunggunya bergegas bangkit. Ia berjalan menuju dapur, sedang Jiyong berjalan ke kamar. "Aku pulang," katanya, sembari melangkah ke kamar.
"Oppa sudah makan? Aku membuat sup dan bulgogi, mau aku siapkan makan malam?" tawar Lisa, yang berhenti di depan meja makan, bicara pada Jiyong yang melewatinya begitu saja.
"Ya," angguk Jiyong, hanya menjawab yang terakhir.
"Mandi lah, lalu makan," balas Lisa, yang harus mulai bergerak untuk menghangatkan makan malam suaminya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Do Women Get Angry?
Fanfiction"Baik, aku mau bercerai. Tapi sebelum itu, carikan seseorang untukku," katanya, menatap serius pria di hadapannya. "Siapa?" suaminya bertanya, berharap wanita di depannya bisa segera menandatangani surat cerai mereka. "Cinta pertamaku." . . . . . ...