Mulut Laras sedari tadi masih komat kamit membaca doa, sesekali ia meremas roknya guna menghilangkan keringat yang membasahi telapak tangannya. Tubuhnya bergetar hebat menahan tangis, pikirannya melayang memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Gafi.
Disma berlari kecil menyusuri lorong rumah sakit, melihat Laras yang mondar mandir karena khawatir ia langsung memeluk dan menenangkannya. Tangis Laras pecah, disela tangisnya ia menceritakan apa yang terjadi pada Gafi sampai harus dilarikan ke rumah sakit.
"Mungkin Gafi cuma kecapean sayang" Lirihnya sambil mengelus rambut Laras.
Laras menggeleng, "Nggak mungkin tan, nggak mungkin Gafi cuman kecapean... tadi Gafi bilang sendiri kalo dia nggak bisa nafas"
"Permisi dengan keluarga pasien" Sapa dokter yang menangani Gafi.
Disma melepas pelukannya, dan segera menanyakan kondisi Gafi. Dokter mengulas senyum.
"Pasien hanya kecapean, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi pasien perlu menginap sementara agar kami dapat mengawasi kondisinya" Disma dan Laras dapat bernafas lega mendengar penjelasan dari dokter.Brankar tempat Gafi berbaring didorong keluar UGD menuju ruang rawat inap. Ia juga sudah dalam keadaan sadar dan melemparkan senyum kepada mereka.
"Permisi sus apa pasien sudah boleh dijenguk?"
"Ah iya bu silakan.."
Gafi tertangkap basah sedang kesulitan mencoba melepas oxygen mask, ia hanya memperlihatkan cengiran khas orang yg sedang sakit. "Udah nggak sesek Gaf?"
Gafi memangguk mantap. "Sini, mba bantu nglepas"
Dengan bekal ilmu yang ia dapat di Universitas, Laras dapat membantunya tanpa perlu merepotkan dokter. "Yakin?" Pertanyaan itu terulang ketika oxygen mask yang mulanya bertengger diwajah Gafi berpindah ke tangan Laras. "Iya mba..." Gafi melirik kearah Disma lalu mencium punggung tangannya.
"Raffi gimana tan? Masih minum?"
"Dia udah kapok katanya, tapi ehh sekarang malah ikut ikutan kebiasaan bapaknya ngeteh" Gafi terkekeh mendengar kebiasaan sahabatnya sekarang.
"Gimana udah mendingan belum? Masih sakit kepalanya ya?"
"Alhamdulilah udah nggak sakit kok tante, tapi ya masih lemes aja" Disma mengelus punggung tangan Gafi sekilas sambil tersenyum.
"Minta maaf dulu sana sama mba Laras" Bisik Disma lalu meninggalkan mereka berdua.
"Mba nangis mba?" Goda Gafi. Laras menatap tajam Gafi dengan mata sembabnya.
"Udah mau nikah kok masih ceng-" Ucapannya terpotong ketika Laras melingkarkan lengannya pada perut Gafi. Laras memeluknya dari samping dan dagu Laras kini berada pada pucik kepala Gafi.
"Jangan bikin mba Laras khawatir dong Gaf, kalo emang nggak enak badan jangan dipaksain masuk kerja, jadinya malah gini, kan?" Omel Laras sambil menyusut ingusnya yang hampir keluar.
Gafi terdiam, terhanyut dalam pelukan hangat Laras.
Laras menghentikan aksinya mengelus rambut Gafi dan terfokus pada lengannya yang kini terasa basah dan sedikit hangat. Gafi tidak sadar bahwa sedari tadi air matanya terus menetes dalam diam. Laras melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah Gafi dengan kedua tangannya.
"Are you okay, boy? Ada yang sakit?" Tanya Laras khawatir.
Gafi menggeleng pelan sambil menyinggungkan senyumnya. "I'm okay sis"
"Mba pamit pulang ya, istirahat, jangan lupa minum obatnya, jangan telat makan" Gafi mengangguk patuh.
Laras melambaikan tangan di ambang pintu ruang rawat inap, lalu menutup pintu. Suara sepatu Laras semakin terdengar menjauh. Gafi termenung sejenak sebelum mencetuskan ide bodoh. Ia cek handphonenya akan mengirim pesan pada tante Disma.
Dzrtt...
Ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk,
"Dari tante Disma"Gaf, maaf ya.. tante tadi langsung pulang soalnya Raffi telfon tante disuruh pulang gitu katanya:(
- Tante DismaGapapa tante, Gafi juga udah baikan kok
- MeGafiIa menyeringai, tanpa ragu ia langsung mencabut selang infus yang menempel dipungung tangannya. Mengambil tisu di nakas sebelahnya dan menempelkannya dengan plester untuk menghentikan darah yang mengalir.
Baru saja hendak berdiri, badannya yang masih lemah langsung merosot kelantai. Sikunya beradu dengan keramik, yang berujung luka memar.
"Astagaa.. ya tuhann berilah hamba kekuatan" Ucapnya sambil menutup mata. Tampaknya tuhan mendengarkan doa yang ia panjatkan. Dengan berpegangan tiang infus di sebelahnya ia dapat sedikit terbantu. Setidaknya sampai ia dapat bersender pada tembok lorong rumah sakit.
Dengan sedikit perubahan sudah membuat orang yang melihatnya tidak menyadari bahwa ia adalah pasien rumah sakit.
Ia berjalan sambil terus bersender pada tembok, walau terlihat seperti orang sakit tapi beruntung para suster tidak menghiraukannya.
"Mas!" Panggilnya kepada tukang ojek yg sedang menunggu pelanggan.
"Mau kemana dek?"
"Gang melati pak, yang deket sama minimarket"
"Siap dek, nih pake dulu helm nya biar amaan" Ucapnya sambil mengacungkan jempol.
Setidaknya ia merasa jauh lebih baik dirumah dari pada diruang inap. Sumpek, hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya ketika ditanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight(alone)
Short StoryKisah singkat tentang seorang remaja SMA yang memiliki alur kehidupan berbeda dari remaja pada umumnya. Hidup dan berjuang sendirian dalam lingkaran obat-obatan juga penderitaan dimasa lampau, tanpa seseorangpun yang mengetahui betapa hancurnya dia...