Setelah pengumuman serta penyerahan penghargaan dan hadiah kepada para pemenang, acara ini resmi ditutup.
Seharusnya mereka sudah diperkenankan meninggalkan area lomba sejak tadi, namun Jenny mengatakan masih ada hal yang harus ia selesaikan terlebih dulu.
Terpaksa, merekapun harus menunggu lebih lama.
"Kalian kalo mau jajan atau jalan-jalan dulu nggak papa, asalkan jangan sampe keluar dari area sini, paham?"
Ketiganya memangguk paham.
Astaga, usia mereka bahkan sudah hampir menyelesaikan masa remaja, tapi gurunya satu ini selalu terbawa pengalamannya saat mengajar murid tk dulu.
Jenny manggut-manggut, "Anak pintar! Bu Jenny tinggal dulu, oke?" Ia pun melenggang pergi meninggalkan ketiganya yang terduduk di bangku.
Sesaat setelah Jenny pergi karena ada sedikit urusan, satu persatu dari mereka juga pergi entah kemana.
Naila bangkit dengan wajah masam dan tanpa ada sedikitpun senyum diwajahnya. Saat Gafi bertanya akan kemana, Naila tidak menggubrisnya sama sekali.
"Bentar" Raffi pun ikut-ikutan bangkit dan membuntuti kemana Naila pergi.
Gafi menghela nafas gusar. Sudahlah, ia tak peduli kemana mereka pergi. Yang terpenting sekarang ia bisa menyendiri, disela-sela pening kepalanya.
Jika diingat-ingat, sepertinya ia melupakan jadwal minum obatnya dari dua hari yang lalu. Ah, benar saja ia merasakan efeknya sekarang.
"Obat.. obat.. obatnya mana?" Ia mencari diseluruh bagian dari tasnya mulai dari belakang, samping, depan, bahkan dibagian tempat menyimpan mantel tas.
Gafi hanya menemukan obat penambah darah dan penurun panas.
"Bagus, giliran pas dibutuhin gini gue nggak bawa!"
Saat ia masih berusaha mengobrak-abrik seluruh isi tasnya--berharap dapat menemukan obat itu--ia merasakan kehadiran seseorang dibelakangnya.
Gafi menoleh, belum sempat ia mengenali siapa orang itu, tubuhnya tiba-tiba terangkat dan ia merasakan sensasi tercekik di lehernya.
"Ngapain lo ngalah, bangsat!" Umpat pemuda itu tepat di depan wajah Gafi.
Pemuda itu melepaskan kerah seragam Gafi, membiarkannya jatuh tersungkur hingga harus terbatuk beberapa kali menetralkan pernafasannya.
"Mau sok jadi jagoan lagi?!" Gertak pemuda itu sekali lagi.
Gafi kesal. Apa-apaan pemuda ini?! Suka sekali mencari masalah!
Gafi bangkit sambil menyiapkan bogeman di tangan kanannya, ia sudah tidak tahan dengan orang modelan seperti ini. Tidak ada gunanya juga jika ia menahan kekuatannya, lebih baik pakai kekuatan penuh saja.
"Siapa yang sok jagoan, hah?!" Saat ia hendak melayangkan bogeman itu, Gafi tersadar siapa identitas sebenarnya sang pemuda.
"Lah, Gevan?"
Ia menurunkan kepalan tangannya, mengurungkan niat. Tapi Gafi masih mencekal kerah jas Gevan dengan posisi hendak membogem seperti beberapa detik yang lalu.
Sedangkan Gevan, ia terlihat ketakutan sampai memejamkan matanya. Ayolah ini konyol sekali!
Gafi terkekeh, baru pertama kali ia melihat seorang pemuda berbadan kekar takut dengannya. Ini seperti melihat komedi saat seekor singa takut dengan kucing.
"Nggak jadi ngebogem?" Gumam Gevan pelan.
"Nggaklah! Nanti elo mampus, gue yang tanggung jawab!" Gafi melepaskan cengkramannya, dan dengan santai kembali duduk dibangku taman tadi, melupakan semua yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight(alone)
Short StoryKisah singkat tentang seorang remaja SMA yang memiliki alur kehidupan berbeda dari remaja pada umumnya. Hidup dan berjuang sendirian dalam lingkaran obat-obatan juga penderitaan dimasa lampau, tanpa seseorangpun yang mengetahui betapa hancurnya dia...