4. Lembaran Kertas

591 23 4
                                    

Gafi kembali menuliskan sesuatu di atas kertasnya,
"Terus gimana tanggapan Bu Devi selaku guru BK? Udah ambil tindakan? Udah lapor ke nyokap lo?"

"Bu Devi malah lebih ngebela pihak pelaku, kalo denger dari omongan omongan kelas sebelah katanya karena sipelaku penyumbang terbesar disekolah ini, nggak mungkin lah sekolah sia sia-in kesempatan emas. Kalo masalah alat itu--"

Naila menghela nafasnya, lalu tersenyum hambar.

"Lo taukan sekarang gue cuma punya nyokap, hidup gue sekarang serba kekurangan, bisa sekolah elit disini karena beasiswa aja, gue udah bersykur banget, nyokap gue banting tulang kerja apa aja untuk ngelanjutin hidup, nggak tega gue ngomongnya"

Naila meringis kecil ketika kembali merasakan perih ditelinganya. Gafi menyingkirkan rambut yang menutupi telinga Naila.

"Separah itu?"

Telinganya kembali berdarah, Bahkan darahnya sampai mengenai seragam yang ia kenakan.

"Kita ke Puskesmas ya" Bisiknya lembut ditelinga Naila.

Walau samar Naila masih mendengarnya. Ia mengangguk lesu, Gafi cekatan memapah Naila menuju parkiran motor.

Hujan sudah reda, hanya tersisa genangan genangan air dipermukaan yang tidak rata. Laju motor yang dikendarainya membuat genangan air terciprat kesembarang tempat.

Sesampainya di puskesmas, mereka berdua langsung disambut oleh suster dan Naila segera ditangani agar tidak kehilangan banyak darah. Disana, Gafi hanya dapat menunggu diluar.

"Gimana sus?" Tanya Gafi ketika seorang wanita dengan seragam putih keluar dari ruangan.

"Apakah pasien memiliki masalah pada pendengarannya?"

"Iya sus, dia tunarungu"

Suster mengela nafas berat, "Pasien harus segera dipakaikan alat bantu dengar, karena ia mengeluh telinganya berdengung, jika terus menerus begitu, pasien akan kehilangan kemampuan pendengarannya perlahan"

Gafi tersenyum tipis, "Baik sus, akan segera saya usahakan, boleh saya jenguk?"

"Silakan"

Naila termenung dengan tatapan kosong, kedua telinganya harus diperban untuk sementara. Gafi masuk keruangan dengan mengulas senyuman kecil.

"Sa-kit, ayo pulang" lirihnya.

"Iya, tapi ganti baju dulu ya, nanti nyokap lo syok liat keadaan anak gadisnya begini" Naila mengangguk kecil. Karena masih kalut dalam pikirannya sendiri, ia melucuti kancing seragamnya langsung di hadapan Gafi.

Gafi gelagapan, segera ia mengacir kepojokan menghilangkan pikiran kotornya. "Gafi bodoh, kenapa nggak dianter dulu ke kamar mandi"

"Gaf.. ayo pulang" Rengek Naila.

Gafi sedikit melirik "Alhamdulillah udah aman"

"Yaudah yok" Saragam Naila sementara ia bawa, agar tidak menimbulkan curiga pada ibu Naila. Ia kembali mengendarai motor Naila, membelah jalanan yang lumayan padat setelah hujan mengguyur.

Setelah mengantar Naila dan motornya selamat sampai rumah, Gafi izin pamit untuk pulang.

...

Ting... Tung....

Gafi menekan bel sebuah bangunan rumah yang terbilang cukup mewah, menunggu jawaban dari sang pemilik.

"Yooi! Langsung masuk aja sini Gaf! Ke kamar gue!" Raffi melambaikan tangannya dari balkon kamar tingkat dua tersebut.

"Beneran?" Jeritnya tak kalah kencang.

"Udahlah nggak usah kayak nggak enak gitu! Udah biasa kali"

Gafi mengacungkan jempolnya, setelah diberi izin sang pemilik ia segera masuk rumah, menaiki tangga dan sampai ka kamar Raffi. "Masuk yak"

"Hooh" Pintu kamarnya berderit, Gafi masuk dengan mengembangkan senyuman khasnya.

"Ngape lo senyum senyum? Seneng liat temennya sakit?" Gafi mengangkat salah satu alisnya, lalu mengubah raut wajahnya menjadi kesal.

"Canda Gaf! Ya Allah punya temen gini amat"

"Gue juga canda kali Raff, ngomong omong wajah lo kok pucet banget, udah kek mayat idup, yakin mendingan?"

"Gue pucet gegara laper bego, gue tunggu daritadi lo nya nggak dateng dateng" Raffi menonyor jidat Gafi yang duduk ditepi ranjangnya.

Gafi manggut manggut, ia bangkit lalu meninggalkan Raffi yang masih duduk manis diranjangnya. "Tunggu bego! Lo mau kemana!"

"Ke dapur lah katanya tadi pengen dimasakin"

Raffi ber 'O' ria lalu membuntuti Gafi menuju dapur. Gafi membuka rak demi rak mencari alat dan bahan yang ia perlukan. Sedang Raffi hanya duduk dan memandang keribetan temannya yg memasak itu.

Ia melirik tas Gafi yang berada disampingnya. Iseng ia raih tas temannya itu dan membongkar isinya dengan hati hati, takut ketahuan si pemilik.

Sebagian besar hanya berisi buku pelajaran dan alat tulis. "Anak pinter mah isi tasnya mbosenin cuman buku doang"

Sampai resleting tas yang paling belakang, ia menemukan segebok obat obatan beserta beberapa lembar kertas. Ia buka perlahan lembaran kertas tersebut.

"RUMAH SAKIT UMUM MITRA BANGSA" Tulisan yang terpampang pada lembaran paling atas, kemudian ia membaca sekilas, terdapat identitas lengkap Gafi disana bersama hasil tes darah dan sumsum tulang belakang.

"Gaf ini apaan?" Tanyanya sambil terus fokus pada lembaran kertas itu.

Deg!

Gafi menarik lembaran kertas itu dan obat obatan yang ada ditangan Raffi lalu mengemasinya kembali.
"Bukan apa apa, tadi yang udah lo baca nggak usah dipikirin"

Raffi mencekal tangan Gafi, membuat aksinya terhenti memberesi barang barang yang berserakan. "Gaf? Lo oke?" Gafi terkekeh lalu menonyor jidat Raffi untuk membalasnya.

"Kan udah gue bilang nggak usah dipikirin, lo liat swndiri kan gue oke oke aja?"

"Ya.. tapikan--"

"Dah.. sono makan tuh liat bibir lo tambah pucet kelaperan"

Raffi mengangguk, ia bangkit lalu mengambil piring dan makanan yang sudah Gafi masakkan untuknya. Gafi melamun, kalut dengan pikirannya sendiri.

"Makan yok!" Teriakan Raffi memecah lamunannya, ia berfikir sejenak, sepertinya hari ini ia tidak memiliki nafsu makan sama sekali. "Nggak lah, males gue!"

"Nggak ada penolakan! Nih udah gue ambilin, nggak lucu kalo nanti lo sakit abis jenguk gue" Raffi menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.

Gafi menghela nafas gusar, terpaksa ia harus memakan yang ia masak dan melawan rasa malasnya.

Tidak ada percakapan diantara keduanya, hanya suara sendok yang beradu menjadi keramaian diantara keduanya.

"Itu tempelan imut bet dah" Gafi terbahak setelah daritadi mengamati dahi Raffi yang dihiasi dengan sejenis penurun panas yang biasa digunakan bayi yang sedang demam.

"Diem lo! Ini nyokap gue yang suruh pake"

"Hahaha.. aneh aneh aja nyokap lo, omong omong enak nggak masakan gue? Kayaknya rada kurang asin deh"

"Nggak sih, pas pas aja tuh rasanya"

"Syukur deh, oiya. Lo tau akun ig nya Fara sama Gevan nggak?"

"Owh.. Sikampret berdua itu, ada. Kenape emang?" Tanya Raffi menyelidik, merasa seperti ada yang tidak beres.

"Ada masalah apa sama mereka?" Lanjutnya lagi.

"Yaa.. bukan gue sih, tapi si Naila"

Bersambung ...

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang