5. Rencana

467 22 1
                                    

Setelah pulang dari kediaman sahabatnya. Seperti biasa, dikala sore Gafi berjalan di trotoar menuju tempatnya bekerja paruh waktu.

"Mas Bumi.. cepet banget dah pulang" Seorang cowok dengan perawakan tinggi itu mengulas senyum.

"Ya iyalah Gaf, kalo kelamaan cuti nanti gaji mas dipotong lagi dong"

"Omong omong, Apa kabar mas? Nggak cape tuh baru pulang langsung kerja"

"Yee yakin nggak kebalik? Apa kabar? Nggak lemes tuh baru keluar rumah sakit langsung kerja" Gafi terkekeh pelan, sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Yaa.. abis gimana yak, dirumah sakit mah sepi, bosenin lagi, sekali kali lah bolos" Bumi tak habis pikir dengan rekan kerjanya itu.

"Mba laras heboh tuh daritadi telfon mas, nanyain kamu sampe pusing mas jawabnya gimana"

Drzzz.
Drzzz..
Drzzz...

Gafi yang mau berlalu ke loker, langkahnya terhenti ketika Bumi memanggilnya untuk mengangkat telfon.

"Tuh ditelfon lagi kan" Bumi menyodorkan ponselnya. Gafi menekan tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan, tak lupa speaker ikut ia nyalakan.

Sebagian besar ocehan Laras hanya kata kata khawatir karena Gafi meninggalkan rumah sakit saat keadaannya masih drop.

"Hasil tes darah kemarin, nanti mba ambilkan ya?"

Deg!

Satu kalimat yang berhasil membuat Gafi membulatkan matanya. "Jangan!" Sarkas Gafi.

"Lho lho lho? Kenapa? Mbak kan pengen liat hasil tes nya"

"Emm..h-hasilnya sudah Gaf ambil tadi pulang sekolah" Suaranya ia atur sebaik mungkin agar tidak membuat Laras curiga bahwa ia berbohong.

Sedangkan Laras hanya ber"O"ria, lalu menutup panggilan. Gafi menghela nafas lega, beruntung saja Laras langsung percaya.

Ia memgembalikan ponsel milik Bumi, kemudian izin pamit mengganti seragam.

Pekerjaan yang Gafi lakukan bisa dibilang susah-susah-gampang, karena dulu ia mendaftar dibagian "Pramuniaga" yang tentu menguras tenaga. (Kenapa nggak bagian kasir, atau yang lainnya? Yaa.. tanya dia sediri lah, hehe.)

Gajnya perbulan juga diatas rata-rata uang sekolah anak SMA, jadi sisanya biasa ia tabung. Untuk jam kerja ia selalu meminta bagian shift kedua (15.00-23.00) jika hari biasa, dan shift pertama (06.00-15.00) dihari libur sekolah.

"Alhamdulilah udah selesai" Ia menghela nafas sambil bersender pada lemari loker. "Cape, Gaf?" Tanya Bumi sekedar basa-basi. Bumi juga mendaftar dibagian yang sama dengan Gafi.

"Hooh" Jawabnya singkat.

Jujur saja, kondisi fisiknya sekarang bisa di bilang tidak baik-baik saja, bahkan sekarang pandangannya kabur, untuk melihat wajah Bumi disebelahnya pun tidak bisa. Ia memejamkan matanya sejenak, yang menurutnya ampuh mengatasi keadaaan tersebut.

Matanya membola ketika merasakan cairan hangat kental mengalir mulai membasahi lubang hidungnya. Ia menghapus singkat cairan yang mulai menetes dengan pergelangan tangannya. "Hoi! Pilek Gaf?" Bumi menonyor kepala Gafi yang sukses membuat telinganya berdengung.

Gafi yanv penasaran, sedikit mengintip pergelangan tangannya, beruntung hanya cairan tak berwarna alias bening yang ada di sana. "Mas tisu dong" Pinta Gafi dengan cengiran khasnya.

"Kok tiba tiba pilek yak?" Gumam Gafi yang masih dapat didengar oleh Bumi. "Biasa kali, 2 kemarin mas juga flu mungkin karena musimnya" Gafi manggut manggut mendengar penjelasan Bumi.

Setelah dirasa tenaganya cukup terpenuhi, mereka kembali melakukan aktivitas masing masing.

...

Hari terus berganti, seiring dengan berjalannya waktu, mekanisme kehidupan terus berjalan, umur manusia bukan semakin panjang namun semakin berkurang. Kontrak sementara dengan duniawi akan berakhir dan digantikan dengan kontrak abadi dengan akhirat.

"Gaf? Beneran nggak papa? Demam lo kayaknya makin parah deh" Bisik Raffi dibalik dinding kamar mandi. Gafi mengangguk mantap sambil memunculkan cengiran dan acungan jempolnya.

"Ingat kode dari gue, oke?"

Kini Raffi yang pasrah mengurusi temannya itu hanya bisa memangguk. Walau disini perannya hanya mengabadikan tapi tetap saja ada resiko untuk dirinya sendiri.

Ketika target datang Gafi langsung mengambil ancang ancang dibalik semak-semak. Sedangkan, Raffi membuka kamera ponselnya dan mengaktifkan perekam video, dalam hatinya ada rasa kesal dan gelisah yang ia tujukan pada temannya itu. Jika rencana melencang sedikit maka akan fatal akibatnya.

Naila yang sedang duduk dikursi taman belakang sekolah sedang melamun dengan ditemani oleh bekal yang ia bawa. Hari ini Keisya sakit, setelah teman sekelasnya tau bahwa ia tunarungu mereka menjauhi Naila karena merasa jijik berteman dengan seorang yang cacat.

Gavan dan Fara yang datang beriringan menyeringai ketika melihat mangsanya sendirian. Fara menepuk bahu Naila yang membuatnya sedikit terkejut dan takut tapi sebisa mungkin ia sembunyikan ekspresi itu.

Gevan menyelip rambut Naila yang terurai kedepan di balik telinga, kemudian ia terkekeh puas ketika melihat telinga Naila yang tertutup perban. Naila yang merasa risih segera menepis tangan Gevan, tapi dengan cekatan ia mencekal daun telinga Naila lalu menariknya, yang sukses membuat Naila menjerit.

Tangan Raffi gemetar ketika melihat kejadian kejamnya perundungan yang Gevan dan Fara lakukan terhadap mangsanya. "I'ts okay, lo harus tenang Raff, jangan sampai rencana ini gagal" Ia kembali mencengkram poselnya agar tidak jatuh dan menghilangkan perasaan khawatirnya.

"Hoi! Jangan buat keributan bodoh! Lo lupa kita kesini buat apa, hah!?" Fara menonyor kepala kembarannya itu.

"Yosh! Karena lo tuli, kita udah berbaik hati nyatet sesuatu buat lo, dan silakan baca" Ia menunjukkan sebuah lembaran kertas buku gambar dengan ukuran yang lumayan besar.

"Untuk yang kemarin kita minta maaf karena udah buat alat bantu denger lo hancur, kita akan ganti semuanya termasuk semua biaya pengobatan telinga lo. Tentu itu semua nggak gratis, sebagai gantinya lo harus jadi anjing peliharaan kita, setuju?"

Setelah selesai membacanya, Naila tertegun dan terdiam sejenak. Tapi kemudian ia menggeleng pelan, yang membuat Gafi tersenyum lega.

"Maaf, tapi harga diri gue nggak serendah itu, sampai harus ngemis kekali-" Ucapan Naila terpotong ketika satu tamparan keras mendarat di pipi kanannya. Naila hanya bisa menunduk, sambil menahan rasa perih akibat tamparan.

"Ups, sorry kelepasan" Setelahnya Fara terkekeh puas.

Naila menatap datar keduanya. "Apa? Nantang lo?"
Fara menyilangkan kedua tangannya dan menampilkan senyum smirk.

"Apa yang lucu? Gue tanya apa yang lucu bodoh!? Kalian tau!? Kalian itu lebih hina daripada binatang! Mentertawakan kekurangan orang lain? KALIAN LEBIH HINA DARIPADA BINATANG!!"

PLAK!

Lagi dan lagi ia menerima tamparan itu. "Jaga omongan lo!?" Amarah Gevan memuncak ketika mendengar ocehan Naila. Ketika ia akan melayangkan satu bogeman ke tubuh mungil Naila, ada tangan yang menahannya.

"Kenapa? Nggak ada yang salah kok sama ucapannya, justru ada yang salah sama otak lo!"

Bersambung..

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang