40. Penyusup?

167 5 2
                                    

Sesuai dengan apa yang Ruby katakan siang tadi, gadis itu benar-benar menjemputnya sore ini. Mobil SUV berwarna putih terparkir tepat di pintu keluar rumah sakit, dari jendela kendaraan itu tersembul wajah ayu Ruby yang tersenyum sumringah.

Gafi yang baru saja keluar dari bangunan serba putih itu dengan menggunakan kursi roda hanya bisa tersenyum kikuk. Seharusnya tadi siang ia menolak tawaran Ruby.

Gadis itu keluar dari dalam mobil, seragam sekolah masih melekat pada tubuh mungilnya. "Terima kasih, Suster." Ruby mengembangkan senyum manisnya. "Iya mbak, sama-sama."

"Ayo kita pulang!" Ruby mengulurkan tangannya berniat membantu Gafi berdiri. Namun nyatanya, Gafi masih bisa melakukan hal itu sendiri. Dirinya merasa sedikit kesal karena pemuda itu mengacuhkan bantuan darinya.

"Gue nggak mau terlalu banyak ngrepotin lo. Selagi gue masih bisa, bakal gue lakuin sendiri" jelas Gafi yang sepertinya menyadari perubahan raut wajah Ruby. "Lain kali jangan nolak dong, aku tulus bantu kamu, kok."

Lagi-lagi, Gafi hanya bisa tersenyum kikuk. Menurutnya Ruby agak sedikit aneh. Mungkin?

"Nyalakan mesin dan mari kita jalan!" Dalam waktu satu detik mood-nya sudah berubah, kembali seperti semula. Ruby berjalan memutar sebelum masuk dan duduk di kursi penumpang yang ada di sebelah kursi supir.

Perlahan mereka mulai memasuki jalan raya dan melaju menjauhi area rumah sakit.

Alunan lagu berbahasa inggris menemani keheningan di antara mereka. Tak jarang pula, Ruby ikut menyanyikan setiap bait lagu itu seperti sedang berduet dengan penyanyi aslinya.

I love him, I love him, I love him

And where He goes I'll follow, I'll follow, I'll follow.

Perlu Gafi akui, Ruby memang memiliki suara yang terbilang halus dan lembut. Mungkin akan lebih bagus jika ia menyanyikan lagu yang lebih ceria.

Ruby mengakhiri lagu tersebut dengan apik, kemudian bertepuk tangan ria seolah dirinya baru saja menyelesaikan konser. "Yeay, aku hafal liriknya!" Gadis itu berseru riang, seperti anak kecil yang berhasil melakukan sesuatu dengan usahanya sendiri.

"Rega. Suaraku bagus, kan?"

Gafi yang awalnya duduk santai sambil bersandar, dengan spontan menegapkan tubuhnya. Ia tak menyangka jika ada orang lain selain dirinya dan Ruby.

"Ada apa, Gaf?" tanya Ruby yang sedikit terkejut dengan tingkah aneh Gafi. "Hah? Oh, nggak papa kok gue kira tadi cuma ada kita doang." Gadis itu terkikik kecil, "kalau hanya kita berdua, terus yang jadi supir siapa?" Ruby melanjutkan tawa kecilnya.

"Nggak keliatan ada Rega di sebelah lo." Entah kenapa setelah mengetahui ada seorang lagi diantara mereka, Gafi menjadi lebih tenang. Meski Ruby terlihat bagai malaikat, tapi auranya terasa berbanding terbalik dari fisiknya.

Gafi menepis pikiran nylenehnya, lagipula Ruby sudah berbaik hati memberinya tumpangan gratis. Tidak mungkin ia membalas kebaikan ini dengan berburuk sangka pada gadis polos itu.

"Rega, kamu belum jawab pertanyaanku loh!"

"Iya bagus."

Jika dilihat-lihat keduanya mungkin memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Mungkin, pacar. Tapi setelah dipikir-pikir kalau mereka benar-benar pacaran, untuk apa Ruby mengajak dirinya pulang bersama.

Daritadi otak gue kenapa dah? Penasaran mulu sama hidupnya orang lain. Ketularan Naila kali, ya?

...

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di halaman depan sebuah rumah bercat putih. Jika saja jalanan tidak macet, pasti sudah 30 menit lalu mereka tiba di tujuan. "Sudah sampai!" seru Ruby yang langsung meloncat keluar dari mobil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang