6. Aku Baik-baik Saja!

615 20 2
                                    

Amarah Gevan memuncak ketika mendengar ocehan Naila. Ketika ia akan melayangkan satu bogeman ke tubuh mungil Naila, ada tangan yang menahannya.

"Kenapa? Nggak ada yang salah kok sama ucapannya, justru ada yang salah sama otak lo!"

Brug!

Tubuh Gafi tersungkur ketika mendapat satu bogeman diperutnya. "Shit! Gimana? Enak?" Umpat Gevan.

Gafi mendongak menatap datar netra Gevan, yang tentu membuat amarahnya tak lagi tertahankan. "Nantang lo? Yakin nih?" Ia berjalan kearah Gafi lalu kembali menendang nya berkali kali, tidak peduli dengan bagian tubuh manapun yang ia kenai.

Fara berjalan santai lalu duduk dan merangkul Naila di sampingnya. "Oi! Jangan nunduk terus, liat tuh siapa yang lagi dihajar siGevan" Fara mencekal rahang Naila dan mengarahkan pandangannya kearah Gevan yang sedang membabi buta Gafi.

Setelah sukses membuat Naila histeris, Fara hanya terkekeh puas. "Lanjut Van! Segitu doang tenaga lo!"

Ketika akan berlari menyelamatkan temannya itu, gerakannya tertahan saat Fara mulai menekan perlahan pembuluh darah yang ada dileher Naila, yang membuat kesadarannya berangsur-angsur menghilang.

Raffi semakin mempertajam pengelihatannya, agar ia dapat melihat kode yang diberikan Gafi. Dadanya naik turun, dalam hatinya ia terus mengumpat karena kode dari temannya itu belum juga ditunjukkan, ia tahu betul bahwa keadaan Gafi sekarang tidak baik baik saja.

Perlahan Gafi dapat merasakan nyeri yang begitu luar biasa dari sekujur tubuhnya, ia yakin sekarang penyakitnya kambuh lagi. Gafi segera memberi kode dengan isyarat tangan yang berarti "help" kepada Raffi.

Netra sang perekam menangkap sinyal tersebut. Segera ia mengakhiri kegiatannya merekam, lalu berlari secepat mungkin ke ruang guru.

"Bu Devi! Gevan sama Fara udah keterlaluan!" Teriakannya sontak membuat semua guru dan staff yang ada disana menoleh kearahnya dengan tatapan tidak suka, termasuk seorang wanita muda dengan tag name menggantung yang menunjukkan nama "Devi Anggraini"

"Apa maksud kamu!? Lancang sekali kamu masuk ruang guru tanpa izin!" Hardik wanita itu dengan suara tegas.

"Nggak ada waktu berdebat bu! Sekarang ikut saya!" Raffi menarik paksa tangan "Bu Devi" yang berstatus sebagai guru BK nya. Sesampainya di tempat kejadian, Devi membulatkan matanya sempurna.

"Apa yang bisa diharapkan dari mereka!? Uang sumbangan? Apa cuma gara-gara uang? Para guru jadi nutupin kelakuan buruk mereka?" Wanita itu bungkam mendengar ucapan Raffi.

"GEVAN! FARA! IKUT IBU KERUANG BK SEKARANG!"

Sontak mereka berdua menoleh kesumber suara. Tubuhnya terasa kaku, setelah sekian lama bertindak hanya kali ini mereka mendapat teguran yang tegas.

Gavan dan Fara menghentikan aksinya lalu berjalan lunglai membuntuti Bu Devi ke ruang BK. Tugas pertama Raffi sudah selesai, kini tinggal membereskan sisanya.

Raffi meraih tubuh Gafi yang sudah tersungkur lemah, lalu menepuk pipinya perlahan.

"Gaf? Udah pingsan lo?"

"Hmm.. "

Raffi sedikit menyinggungkan senyum, tapi ia kembali memasang muka bingung ketika melihat Naila yang pingsan dibangku taman.

Tapi beruntung tak lama setelah itu, seorang anak PMR datang membantunya. Dan akhirnya mereka berdua sama sama terbaring lemas di ranjang UKS.

...

Raffi hanya bisa menunggu dibalik gorden yang membatasi mereka.

Sedangkan Gafi sedang berjuang menahan rasa nyeri diseluruh tubuhnya, terlebih diperut dan dadanya.

"K-kak o-ba-t s-a-ya d-i-tas" Dengan susah payah Gafi mencoba memberitahu hal yang mungkin dapat membuat kondisinya lebih baik.

Salah seorang anak PMR menghampiri Raffi dan menanyakan perihal obat yang dikatakan. Mengingat segebok obat yang ia temukan diresleting tas paling belakang milik Gafi, ia bergegas mengambilnya.

"Yang mana dek?" Sang petugas bingung karena ada 7 macam obat dengan warna berbeda beda, yang tentu ia tidak tahu obat apa saja itu.

"Putih"

Setelah meminum obat tersebut, Gafi menjadi lebih tenang dan rileks, ia tak lagi memberontak ketika dipasangi nasal cannula.

Tapi ia tetap menolak ketika para petugas akan memeriksa bagian tubuhnya yang tertutup seragam, Gafi menggeleng dan mengatakan bahwa ia tidak merasakan sakit disana.

Para petugas akhirnya pasrah dan tidak lagi memaksa, sementara mereka biarkan Gafi beristirahat dan menitipkannya pada Raffi, sekedar menunggu guru pengurus datang memeriksa lebih lanjut.

"Dek, titip temanmu bentar ya, nanti kalo dia udah bangun sebelum guru pengurusnya datang telfon saya ya? Ini nomernya"

Raffi hanya memangguk patuh dan menerima ketika kakel ceweknya itu menyodorkan lembaran kertas berisi nama dan nomor ponsel.

...

Sudah hampir satu jam lebih, ia tidak mendengar lenguhan atau panggilan dari dalam. Baru saja ia akan meninggalkan ruangan itu, Raffi mendengar suara batuk dan erangan kecil dibalik gorden, tepat nya tempat Gafi terbaring lemah tadi.

Ia membalikkan arah langkahnya, lalu menyibak gorden putih yang membatasi pengelihatannya itu. Ketika gorden terbuka sempurna, ia langsung disuguhi pemandangan mengerikan.

Raffi berdiri mematung ketika melihat mulut dan hidung Gafi mengeluarkan darah segar. Dada Gafi terlihat naik turun tidak karuan, salah satu tangannya mencekal erat dadanya yang terasa begitu sesak dan menyakitkan.

Seperkian detik kemudian, Gafi terlihat santai mengusap darah yang tersisa diantara sudut bibir dan hidungnya dengan pergelangan tangan. Ia mendongak menatap Raffi yang masih membatu, lalu memunculkan senyum getirnya.

Jemarinya bergerak menunjukkan huruf "V" atau peace. "Tara! Gue oke kok!" Air mata Raffi bergumul dikelopak matanya, pandangannya menjadi buram lalu ia memejamkan mata yang membuat bulir bening itu lolos keluar dari pertahanannya.

Sungguh keadaan Gafi sekarang sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak? Diseluruh tubuhnya penuh luka memar, wajahnya memerah karena demam tinggi, dadanya naik turun tidak karuan menahan sakit, dan jangan lupakan bekas darah di seragam dan pergelangan tangannya.

"Bodoh! Lo bodoh, Gaf!!" Raffi mengacak rambutnya frustasi, lalu ia menyambar ponsel yang ada dinakas mencoba menghubungi seseorang.

"K-kak dia udah siuman" Suaranya bergetar tak terkendali, antara kesal dan khawatir, tanpa menunggu jawaban dari seberang ia langsung mematikan panggilan.

Bersambung..

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang