Dug!
Keduanya menutup pintu mobil secara bersamaan, mereka baru saja sampai di rumah sakit tempat salah seorang temannya dirawat disana. Mereka melangkah menyusur mencari meja resepsionis, untuk menanyakan kamar inap nomor 167.
Baru saja mereka akan menyanyakan pada resepsionis seseorang yang mereka cari ternyata sudah ada dibelakangnya. "Ngapain?" Tanyanya polos.
Ketiganya saling melempar pandangan, membuat Gafi semakin bingung dengan keadaan.
"He? Kenapa?" Naila dan Raffi menatapnya heran. Bagaimana tidak? Gafi, ia sudah mengenakan baju biasa, tidak menggunakan kemeja ataupun gaun rumah sakit, di kedua punggung tangannya sudah tidak ada lagi infus menempel, dan ia juga terlihat memangku tasnya.
"Mau kemana?"
"Pulanglah"
Keduanya semakin terkejut mendengar jawaban Gafi. "No, no, no! Gue yakin lo pasti belum dibolehin pulang!" Mereka serentak memutar balikkan arah kursi roda Gafi. "Woy! Gue mau pulang!" Protesnya.
"Kita nggak yakin lo bener-bener sehat!"
"Ya! Harus buktiin!" Tantang Naila.
Ia menghela nafas gusar, beberapa saat ia sempat ragu tapi daripada ia tak bisa pulang kerumah jadi ia nekat melakukannya. Ia bangkit dari kursi roda, berdiri berhadapan dengan Naila dan Raffi.
"Gimana? Udah percaya?"
...
Setelah cekcok panjang dengan kedua sahabatnya, akhirnya ia bisa pulang. Tentu ia memesan taxi untuk mengantarnya ke rumah, karena tidak mungkin ia membawa kendaraan sendiri apalagi harus menumpang di mobil Raffi, ide yang buruk!
Meski membawa mobil sendiri, Raffi tetap kekeh bersikeras menunggu hingga taxi yang ia pesan tiba, begitu pula dengan Naila. "Pulang aja kali"
"Nggak!" Balas keduannya bersamaan.
Ia menyerah, tekad mereka terlalu kuat untuk dirayu. Daripada tenaganya habis sia-sia hanya untuk menyuruh mereka pulang lebih baik ia berdiam diri.
Tak butuh waktu lama, hingga sebuah taxi berhenti didepan mereka. "Dengan Tuan Fazal?" Tanya snag sopir. Ia memangguk mengiyakan, lalu bangkit dari kursi rodanya melangkah masuk kedalam.
Saat hendak menutup pintu, Naila menahannya dan ia malah ikutan masuk dan duduk tepat disebelahnya. "Gue ikut!"
Dug!
Pintu ditutup, dan mobil mulai melaju membelah padatnya jalanan kota ditengah hari. Naila menikmati embusan AC mobil yang begitu menyegarkan, sangat cocok dengan hawa yang sangat panas saat ini.
Ia memainkan ponsel pintar miliknya, membaca artikel-artikel singkat yang menyangkut tentang hasil tes darah Gafi kemarin lusa. Perhatiannya teralihkan, saat melihat tangan seseorang disebelahnya terlihat tremor dan berkeringat.
"Kenapa lo?"
Tak kunjung mendapat jawaban darinya. Naila mengedikan bahunya, mencoba tak peduli dan tidak mempermasalahkan semua itu. Tapi, rasa cemas mulai menghantui perasaannya. "Kenapa sih, Gaf?" Tanyanya sekali lagi.
Gafi tetap kekeh terdiam, bahkan tidak menjawab walau sekedar memangguk atau menggeleng. Tentu hal itu membuat Naila semakin khawatir.
"Balik kerumah sakit aja ya?"
Lagi-lagi tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya, namun kini nafasnya terdengar tidak beraturan, ia seperti orang yang ketakutan.
"Pak! Putar ba-- hmmpphh!" Gafi membekap mulutnya erat, sampai-sampai ia hampir kesulitan bernafas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight(alone)
Short StoryKisah singkat tentang seorang remaja SMA yang memiliki alur kehidupan berbeda dari remaja pada umumnya. Hidup dan berjuang sendirian dalam lingkaran obat-obatan juga penderitaan dimasa lampau, tanpa seseorangpun yang mengetahui betapa hancurnya dia...