19. Demam

370 17 0
                                    

"Kerumah sakit aja ya, Gaf?" Ucapnya berkali-kali untuk membujuk Gafi, setelah melihat termometer suhu yang menunjukkan angka 40,7⁰C.

Ia tetap kekeh berbaring diatas futon milik Naila, dengan kompres yang mempel dikeningnya. "Nanti juga baikan, lo ganti baju dulu lah, Nai!"

"Heeeeh! Jangan nyepelein gitu, ah!"

"Nggak papa, Nai"

"Oke, kalo 1 jam kedepan nggak ada perubahan kita langsung kerumah sakit"

Gafi memangguk patuh, kemudian Naila bangkit menuju lemarinya mengambil beberapa baju panjang sebelum melepas pakaiannya.

"Gue kekamar mandi bentar, diam disitu! Jangan gerak atau pindah posisi sebelum gue dateng!"

Tidak tega rasanya meninggalkan Gafi seorang diri dikamarnya, tapi tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Ia menghidupkan pancuran mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, yang dipercaya mencegah demam setelah hujan-hujanan.

15 menit Naila habiskan hanya untuk mandi, Ia sudah berusaha supaya dapat selesai lebih cepat dari biasanya, khawatir jika terjadi apa-apa dengan temannya itu. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, sambil berjalan kembali kekamarnya.

"Udah lebih baik?" Ucapnya saat membuka pintu kamar. Ia menghela nafas lega, ketika menemui temannya sudah tertidur dengan selimut yang membungkus hampir seluruh tubuhnya. Seulas senyum kecil tergambar diwajahnya. Ayolah ini terlalu manis!

Tak ingin mengganggu, Naila kembali menutup pintu kamarnya. "Mimpi indah, pangeran"

1 jam berlalu, belum ada tanda-tanda sang pangeran tidur terbangun. Bukan apa-apa memang, tapi dalam lubuk hati paling dalam, ia merasakan kekhawatiran.

Setelah menyelesaikan tugas memasaknya, ia kembali kekamar dan mengintip keadaan temannya. "Udah bangun, Gaf?" Ucap Naila saat melihat tubuh Gafi yang terduduk dan bersandar pada dinding kamar.

"Ukur suhu dulu gih" Naila menyodorkan termometernya, dan segera berbalik membelakangi Gafi.

Hening, tidak ada percakapan diantara keduanya, bahkan hingga bunyi berakhirnya pengukuran suhu selesai keduanya tetap terdiam, hanyut dalam lamunannya masing-masing.

Gafi menyerahkan temometernya kembali kepada sang pemilik, dengan angka yang masih tertera disana. Naila menghela nafas gusar, memang seharusnya ia membawa Gafi kerumah sakit daritadi.

Gafi hanya tersenyum, dan tidak mengindahkan omelan Naila yang terus memaksanya ke rumah sakit sekarang. Naila menggerutu pelan sebelum akhirnya meninggalkan Gafi sediri dikamarnya, dengan pintu yang masih terbuka lebar.

Sedangkan Gafi berpikir keras, ia sendiri pun bingung bagaimana bisa tubuhnya sampai drop seperti ini? Entahlah, kepalanya tambah berkunang-kunang saat memikirkannya.

"Makan dulu, gih" Naila membawakan nampan, dengan semangkuk bubur dan segelas air.

Benar! Sepertinya sudah dari kemarin malam ia belum makan, aahh! Nafsu makannya bertambah buruk sekarang.

"Gue trauma berat nyuapin lo, jadi.."

"Thanks, gue bisa sendiri kok!" Ia meraih semangkuk bubur yang ada disebelahnya, yang sepertinya baru saja selesai dimasak beberapa menit yang lalu.

Saat sesuap bubur mendekati bibirnya, ia kembali merasa mual. Bukan! Bukan karena aromanya yang menyengat, namun pencernaannya saja yang tidak bisa diajak kompromi.

"S-sorry! Baunya nyengat banget ya?" Naila segera menjauhkan mangkuk itu dari hadapan Gafi.

Ia memggeleng pelan,

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang