Naila menyodorkan baskom kosong, tapi Gafi menolaknya dan lebih memilih untuk bangkit dan pergi kekamar mandi.
Ia melepas semua alat medis yang menempel, lalu berlari sempoyongan sebelum akhirnya terjatuh diambang pintu kamar mandi. Hue!
Sebagian besar yang ia muntahkan hanya berupa cairan putih, yang menurut Naila itu obat-obatan yang Gafi konsumsi. Naila mengurut perlahan tengkuk Gafi sambil melaburkan minyak angin kepunggungnya.
Raffi yang mendengar kegaduhan didalam langsung menyelonong masuk, "Gaf? Na--" Ucapannya terpotong ketika melihat kode untuk diam dari Naila.
"Gafi kenapa Nai?" Ucap Raffi setengah berbisik.
Naila menggeleng pelan. Lalu mencoba membujuk Gafi yang masih tetap kekeh bertahan disana.
"Nai.. kepala gue pusing" Bersamaan dengan itu darah mulai mengalir lagi dari hidungnya. Membuat tubuh Gafi semakin lemah dan hampir ambruk.
Beruntung Raffi cekatan meraih tubuhnya lalu memapah dan membaringkan kembali ke brankar.
"Permisi, ada yang bisa kami bantu?" Sapa seorang suster dari seberang.
"Ada sedikit masalah sus, ini infus dan nasal cannulanya lepas, terimakasih"
"Baik"
Raffi kembali fokus membersihkan noda darah yang tersisa, sedang Naila sibuk mengganti kompres dan membersihkan lantai kamar mandi.
Tok.. tok.. tok..
Sreerkk..
"Permisi" Seorang perawat muncul dari balik pintu dengan membawa perlengkapan disalah satu tangannya. Setelah memasang kembali infusan dan nasal cannula, ia memeriksa singkat keadaan Gafi dan menanyakan keluhan yang ia rasakan.
Setelah memberi penjelasan singkat tentang kondisinya. Sang perawat sedikit membungkukan badannya, lalu pergi meninggalkan ruangan.
"Masih mual Gaf?" Gafi tersenyum kecil kemudian menggeleng.
Naila duduk disofa yang jaraknya cukup jauh dari brankar, tertunduk merutuki perbuatan bodohnya, tak terasa air matanya kembali mengalir lebih deras, ia menggigit bibirnya menahan suara isak tangis.
Gafi yang samar-samar melihat kedua bahu Naila bergetar lalu memanggilnya. Naila tersentak, ia segera menghapus air mata dan menyusut ingus yang memenuhi rongga hidungnya. "K-kenapa Gaf?"
"Kenapa nangis?"
Naila menunduk. "Lo bodoh Gaf"
"Eh?"
"Gue benci sifat lo yang lebih mentingin orang lain"
Naila menghela nafas gusar. "Dan merasa diri lo seolah-olah nggak penting" Lanjutnya.
Seperkian detik berikutnya, terdengar suara isak tangis, yang reflek membuat Gafi bangkit dan memeluk Naila. "Gue nggak suka ada cewe nangis, apalagi nangisnya karena gue"
Naila menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Gafi, menggumamkan sesuatu yang tidak terlalu jelas terdengar ditelinga Gafi.
"Jangan ngelakuin hal bodoh lagi cuma untuk orang lain, Gaf" Satu poin yang dapat ia simpulkan dari gumaman Naila.
...
Hari sudah mulai gelap, dan kini tidak ada lagi yang maramaikan ruang rawat inapnya.
Kedua temannya sudah pulang setengah jam yang lalu, ia hanya ditemani dengan suara televisi yang menapilkan serial kartun spongebob squarepants.
Andai saja ia tak butuh nasal cannula yang bertengger diwajahnya itu, pasti sudah daritadi ia melarikan diri.
Netranya menatap datar kearah jendela yang menampilkan pemandangan senja yang akan termakan oleh awan mendung.
Tak butuh waktu yang lama pemandangan seja menghilang dan tergantikan dengan rintikan air yang mulai turun dari langit.
Dan alasan kedua hujan turun ke bumi adalah untuk mengembuskan rasa rindu di hati para manusia.
Ia memejamkan matanya, tubuhnya terasa remuk dan tidak bertenaga sama sekali. Menatap pintu ruangan berharap ada seseorang selain dokter dan perawat yang datang menemaninya.
"Dulu kalo gue demam pasti ada yang telaten banget ganti kompresan, nemenin gue sampe ketiduran, selalu sigap kalo gue kanapa-napa"
Ia tersenyum kecil. "Siapa lagi kalo bukan bunda?"
Hari ini, tepat 5 tahun lalu, sang bunda tercinta meninggalkannya untuk selama-lamanya, karena kecelakaan tragis.
...
"Bunda berangkat ya? Nanti kalo ada apa-apa langsung telfon bunda, oke?"
Wanita paruh baya itu mengecup singkat kening putranya, sebelum pergi untuk mencari nafkah.
"Obat-obatan kamu udah bunda taruh di laci nakas, jangan lupa diminum lhoo biar cepet sembuh" lanjutnya lagi.
Sang anak hanya memangguk paham, lalu melambaikan tangannya mengiringi mobil yang mulai keluar dari pekarangan rumah dan semakin jauh melaju.
Ia kembali kedalam rumah, lalu merebahkan tubuhnya disofa menatap langit langit rumah yang didominasi dengan warna putih. "Padahal hari minggu, tapi tetep aja masuk kerja!"
Tanpa disadari ia kembali terlelap, entah berapa lama ia tertidur tapi saat terbangun langit sudah gelap dan hujan turun dengan derasnya.
Tubuhnya menggigil, suhu tubuhnya mungkin juga semakin meningkat. "Sial! Gue ketiduran! Astagaa.. pusing banget kepala gue"
Dengan sisa sisa tenaga yang masih ada ia mencoba mengambil obat-obatan yang sudah disiapkan dilaci nakas kamarnya.
Ia sedikit melirik jam yang tergantung pada dinding ruang tamu, waktu menunjukkan pukul 20.43.
"Bunda belum pulang?"Entah mengapa ia merasakan firasat buruk, mengurungkan niatnya mengambil obat dan lebih memilih untuk segera menghubungi sang bunda terlebih dahulu.
"Halo, Assalamualaikum Bunda?"
"Hm? Waalaikumsalam, kenapa sayang?" Ia menghela nafas lega ketika mendengar suara lembut itu.
"Bun? Udah mau jam sembilan tapi bunda kok belun pulang?"
"Maaf ya, ini bunda lembur biar besok senin bisa izin cuti nemenin kamu dirumah, kamu kenapa telfon bunda? Masih sakit kepalanya?"
"Nggak kok udah mendingan" Kebohongan nomor satu.
"Yaudah kamu istirahat dulu sana, ini bunda mau siap-siap pulang, kamu mau titip beliin apa?"
"Nggak usah, hati-hati bund, diluar kan lagi ujan deres"
"Iya sayang, bunda tutup dulu ya Gaf? Wassalamualaikum"
"Waalaikumsalam" Sambungan telfon ditutup, bersamaan dengan tubuhnya yang mulai merosot dan terduduk dilantai.
Kesadarannya tidak memudar sepenuhnya, tapi tenaganya mungkin sudah hilang sepenuhnya. Sudah bisa ia bayangkan betapa paniknya ketika sang bunda melihat kondisinya.
Tidak tau pasti tapi ia merasa sudah hampir setengah jam berlalu. Belum ada tanda tanda mobil yang masuk kepekarangan rumahnya.
Handphonenya kembali bergetar, dan menampilkan ada panggilan masuk disana.
"Halo bu--"
"Dengan keluarga cyntia maharani?" Kini bukan sang bunda yang menjawab, melainkan suara berat dari sebrang sana yang beradu dengan derasnya hujan.
"Ya? Saya anaknya, ini siapa ya?" Lirih Gafi lemah.
"Ibu anda mengalami kecelakaan, dan meninggal ditempat, sekarang jenazahnya sedang diurus dirumah sakit"
Setelah itu semuanya menjadi gelap.
...
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight(alone)
Short StoryKisah singkat tentang seorang remaja SMA yang memiliki alur kehidupan berbeda dari remaja pada umumnya. Hidup dan berjuang sendirian dalam lingkaran obat-obatan juga penderitaan dimasa lampau, tanpa seseorangpun yang mengetahui betapa hancurnya dia...