34. Waktu Bersama

168 10 0
                                    

Rintik gerimis masih saja terdengar meski hari sudah sangat larut. Netranya kembali terbuka untuk kesekian kalinya, ia melenguh kecil sedikit kesal dengan keadaannya saat ini.

Bukan, bukan karena suara rintik hujan itu. Namun karena tubuhnya yang terasa panas dingin, mungkin efek dari demam ia alami.

Tubuhnya berkeringat, hampir seluruh badannya panas, tapi kaki dan tangannya sedingin es.

Ia melirik kekanan dan kekiri, barangkali ada orang yang akan membantu dirinya, dan hasilnya nihil. Ia memejamkan matanya berharap dengan itu ia tak lagi merasakan hal menjengkelkan itu.

Tak lama setelah ia memejamkan mata, ia merasakan tangan dan kakinya yang perlahan menghangat, keningnya yang tadi terasa seperti terbakar, kini menjadi lebih mendingan.

Apakah secepat ini tuhan membalas keluh kesahnya? Astaga, ia sangat bersyukur.

Lama-kelamaan ia merasa nyaman dengan semua ini, kelopak matanya memberat. Ia kembali tertidur dengan keadaan yang lebih damai dan tenang.

Sebelum sepenuhnya berlabuh ke alam mimpi, ia mendengar suara seseorang yang mengatakan selamat malam tepat ditelinganya.

"Good night and sweet dream, honey" 

...

"Nggak papa, Tante"

Samar-samar suara dua orang yang berbincang itu mengganggu suasana tidurnya. Ia membuka mata dan cahaya putih menyilaukan langsung menerobos, berdesakan masuk ke kornea matanya.

Matanya yang belum dapat menyesuaikan cahaya silau itu hanya bisa melihat sekitar dengan buram. Saat ia akan mengucek matanya dengan tangan, ia merasa ada seseorang menggenggam tangannya dengan cukup erat.

"Eh, Lo udah bangun, Nai?"

Naila menyipitkan matanya, berusaha agar dapat melihat orang yang ada di hadapannya itu.

"Gafi?" Gumamnya dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.

"Gimana, udah mendingan?" Tanya Gafi smabil melepaskan genggaman tangannya.

Naila memangguk santai, kemudian tersenyum sebelum akhirnya menyadari sesuatu.

Tangannya hangat, keningnya sudah tak lagi panas--ada sesuatu yang menempel disana--dan ia juga merasakan kakinya yang tidak sedingin es seperti tadi malam, namun ia menyadari ada benda kenyal di sana, sepertinya Naila mengenali apa benda itu.

Naila sedikit menyingkap selimutnya, ia menemukan sebuah kompres hangat di sana.

Naila menyentuh keningnya, ia merasakan sebuah plester penurun panas menempel di sana.

Matanya membulat sempurna, siapa lagi yang melakukan semua ini jika bukan orang yang berada tepat di hadapannya itu!?

"Gaf, ini semua elo yang ngelakuin?!"

Gafi memangguk dan tersenyum manis. Berbeda debgan Naila yang memandang Vanara dengan tatapan kesalnya.

"Plaster kita kembaran! Liat nih, sama-sama ada gambar pinguinnya, loh!" Sepertinya Gafi sedang berusaha menghibur Naila yang terlihat sedikit kesal dengan keduanya.

Bukan tanpa alasan Naila kesal dengan Gafi dan Vanara.

Pertama, Vanara malah bablas ketiduran di sofa hingga melupakan anaknya yang sedang sakit dan dirawat inap itu--namun ia masih bisa memakluminya--.

Kedua, Naila kesal dengan Gafi yang sangat tidak peduli pada dirinya sendiri, dan lebih mementingkan orang lain.

"Kamu istirahat dulu gih, Tante yakin semaleman kamu nggak bisa tidur sama sekali" Nasihat Vanara pada Gafi.

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang