9. Impian

337 16 0
                                    

"Pagi La.." Raffi duduk disebelah Naila yang terlihat sedang murung.

Ia menyodorkan sepotong roti panggang dan minuman dingin kehadapan Naila. "Thanks Raff"

Ia menerima keduanya lalu meneguk minuman itu sampai tersisa separuh, Raffi tersenyum kecil mengingat kebiasaan Naila yang selalu makan banyak saat bersedih.

Saat sedang asyik memakan roti panggang, ia melihat seuatu yang sontak membuatnya mendelik tajam.

"Nggak sayang nyawa lo!?" Ia merebut segelas kopi dari tangan Raffi lalu menyembunyikan dibalik badannya.

Raffi terkikik melihat tingkah konyol Naila, "Pesenannya Vino, bukan gue"

Naila hanya ber"O"ria mendengar hal itu, walau didalam lubuk hatinya ada perasaan khawatir dengan kondisi temannya itu.

"Masih inget aja lo, La"

"Haruslah! Bahkan semuanya gue masih hapal"

"Lupain aja Naila, apalagi kenangan buruk itu"

"Semuanya karena gue Raff, karena gue la--"

"Ssttt... itu bukan salah lo, itu murni kebodohan gue, La" Raffi menatap netra Naila datar, menyuruhnya tutup mulut agar tidak mengulang kembali kenangan buruk sepanjang hidupnya.

Raffi menghela nafas gusar, "Andai dulu gue nggak sebodoh itu, pasti nggak bakal jadi begini, La"

"Bukan cuman lo, tapi gue juga ngerasa bersalah, Raff"

Keduanya terdiam sejenak, hanyut dalam pikiran masing-masing.

"Oke!! Bagaimana pun kondisi Gafi gue janji akan bantu semampu gue!!" Naila mengacungkan jari kelingkingnya dihadapan Raffi.

"Gue ikut" Mereka saling menautkan jari kelingking mereka membuat perjanjian. Lalu terkekeh bersama.

...

"Yoi, Gaf!"

Seseorang yang dipanggil hanya diam membisu, dan mengalihkan pandangan kearah lain.

Raffi menepuk pundak Gafi, tapi ia tetap kekeh tak menoleh kearah temannya itu. "Gaf? Kenapa lo?"

Tak kunjung mendapat jawaban dari sang sahabat, ia menarik paksa dagu Gafi menghadapnya.

Mata sembab, dan hidungnya memerah. Sudah bisa dipastikan bahwa ia sebelumnya sempat menangis.

Raffi menyinggungkan senyumnya, sedang Gafi segera menepis tangan yang menahan wajahnya dan membuang muka.

"Ada masalah? Cerita aja Gaf, kayak sama siapa aja sih lo?"

Gafi terdiam sejenak, menimbang-nimbang perkataan Raffi. "Raff!"

"Hmm?"

Entah kenapa sekarang ia merasa gugup dan takut, Gafi meremas selimut berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. "Kalo belum siap nggak usah dipaks--"

"Umur gue udah nggak lama lagi, Raff"

Deg!

Raffi sontak membulatkan matanya dan berdiri. "Gaf? B-bisa lo ulang lagi?"

"Bukan apa-apa, mungkin lo salah denger aja!" Gafi kembali mengembangkan senyumnya, berbeda dari beberapa detik yang lalu.

Ia menggeleng tidak yakin, pikirannya masih berputar mencerna gumaman Gafi yang begitu cepat tadi.

"Umurnya udah nggak lama lagi? Beneran!? Tapi kenapa? Sebelumnya dia kan baik-baik aja! Apa karena yang kemarin?"

"Oi! Raff! Jalan-jalan ketaman, yok!"

"H-hah?"

"Jalan-jalan ketaman! Bosen gue dikamar"

"Emangnya boleh?"

"Boleh!"

"Sebentar gue ambil kursi roda"

Raffi bergegas keluar kamar dan mengambil kursi roda, ia tau pasti jika ditinggal terlalu lama akan terjadi hal yang tak diinginkan.

Ia menghela nafas lega saat melihat Gafi masih ditempatnya berbaring, tidak mencoba melakukan hal-hal aneh seperti biasanya.

"Sudah kuat duduk belum?"

Gafi mengangguk pasti, dengan dibantu sahabatnya, ia bisa dengan mudah berpindah ke kursi roda.

Ia masih setia memangku sebuah tabung oxygen, yang terhubung dengan nasal cannulanya.

"Kok lo masih pake begituan terus, Gaf?"

"Disuruh dokter" Jawabnya singkat.

Raffi ber"O"ria mendengar jawaban Gafi, lalu mulai mendorong kursi roda keluar ruangan menuju taman rumah sakit.

Ia berdecak kagum melihat ada beberapa hiasan kincir angin dan air mancur yang berdiri disana.

"Dimana, Gaf?"

"Dibangku panjang dekat air mancur aja"

Sesampainya disana, keduanya terdiam tidak ada percakapan yang dimulai, kalut dalam pikiran mereka masing-masing.

"Raff"

"Hm?"

"Apa impian lo?"

"Bisa terbebas dari obat-obatan, tapi ya mustahil sih"

"Namanya juga impian, Raff"

"Kalo elo?"

"Bisa capai cita-cita kita masing-masing, terus kumpul ditaman sama jodoh sambil cerita-cerita"

Keduanya terkekeh.

"Kalo itu mah pasti kali, Gaf"

"Kalo takdir berkata lain?"

"Hush! Malah ketularan gue ya elo!"

"Nggak ada yang tau juga kan, Raff?"

"Bener juga sih"

"Raff, ma-- Nggkhhh"

Terlambat, rasa sakit itu sudah kembali berdatangan menyerang tubuhnya.

"Oi, Gaf? Jangan becanda lo!"

"O-obat-- Nggkhhh"

"H-hah? Obat apa?"

Hue!

Seketika tubuh Raffi menegang, tangannya tremor, dan lututnya terasa lemas. "Gaf? Jangan becanda!"

Bersamaan dengan itu, tubuh Gafi perlahan melemah dan kesadarannya berangsur menghilang.

...

"Sial-an!"

Setelah mengantar temannya sampai keruang rawat ia segera pergi menenangkan pikirannya ynag sedang kacau.

Beruntung kamar mandi sedang sepi, jadi ia bisa berteriak sesuka hati.

Kepalanya terasa pening sejak kejadian tadi, karena kembali mengingatkan traumanya pada peristiwa 3 tahun silam.

Bersambung...

Fight(alone)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang