"Kamu udah yakin banget mau speak up soal jati diri kamu sama mereka?" tanya Indira sekali lagi sebelum Rava bersiap untuk pergi ke kafe nineteen selepas magrib nanti.
"Rava udah ketahuan?" Adalah tanya yang dilayangkan Gito sesaat membuka pintu kamar mandi yang ada di dapur.
Posisi keduanya memang lagi ada di ruang makan. Indira yang lagi baca novel sambil ngemil kripik, dan Rava yang lagi buka kulkas buat ambil minuman. Mereka tidak tahu kalau Gito pulang hari ini. Seharusnya masih sepuluh harian lagi mengingat Gito adalah seorang Jenderal TNI Angkatan Darat yang hanya mendapatkan jatah cuti libur sebulan sekali. Tapi kadang ada yang sampai beberapa bulan dia baru boleh pulang. Dan kalau pulang pasti selalu tengah malam atau nggak dini hari. Tapi hari ini beda. Jam baru menunjukan pukul setengah 6 sore, dan Gito sudah terlihat dengan mengenakan kaos oblong polos warna hitam serta celana pendek. Tubuhnya sangat tegap ditambah lekukan otot yang begitu liat tercetak di kaosnya. Membuat Indira terperangah sebentar. Kalau saja ia lupa bahwa pria paruh baya yang ada dihadapannya saat ini adalah papanya, mungkin ia akan menjadikannya sebagai crush. Tapi dibandingkan sebagai crush, bukankah pria yang kerap disebutnya papa ini sudah berhasil mengantongi status sebagai cinta pertama dari anak gadis pertamanya. Lantas apalagi yang Indira sangsikan? Sontak langsung saja ia memeluk Gito detik itu hingga nyaris menjatuhkan buku novel yang sedang dibacanya.
"Papaaaa!! Kangeeenn." ujar Indira dengan memeluknya erat dan dibalas tak kalah erat oleh Gito.
Waktu malam tahun baru kemarin, mereka hanya sempat bertemu sebentar dikarenakan Gito harus kembali bertugas di perbatasan.
"Papa kok nggak bilang kalau hari ini pulang? Bukannya masih beberapa minggu lagi, ya?" tanya Rava dengan meletakkan botol minumnya ke atas meja.
"Kamu terdengar seperti sama sekali tidak senang dengan kepulangan papa." sindir Gito.
"Nggak gitu, tapi, kan.... " Rava jadi bingung harus ngomong apa.
"Papa udah makan?" tanya Indira sesaat melepaskan pelukannya seraya mengajak papanya untuk duduk di bangku meja makan.
"Sudah. Oh, iya, tadi kamu beneran, Rav, mau speak up soal identitas kamu yang sebenarnya?" tanya Gito. "Mama kamu udah tahu masalah ini?" sambungnya lagi.
Rava ikut duduk di seberang Gito.
"Belum, Pa. Lagian aku cerita hal ini juga sama orang-orang yang dekat sama aku doang. Terutama pacarku sendiri."
"Pacar!?" ulang Gito dengan agak sedikit melotot.
"Aku pacaran sama cewek, kok, Pa." Rava buru-buru bicara sebelum Gito sempat berpikiran yang tidak-tidak lantaran selama ini anak tirinya itu berperan sebagai anak gadis.
"Dia pacaran sama Ashel, Pa. Cewek yang datang sama keluarganya pas malam tahun baruan kemarin." Indira menambahkan.
"Oooh, yang kata mama suka datang dan stay hampir 24 jam di rumah sakit itu?" tanya Gito memastikan.
"Yap."
"Emang iya, Ka?"
"Iyalah. Bahkan saking selalu adanya dia pas waktu kamu koma saat itu, dia hampir mau gantiin ka Alfa buat lapin tubuh kamu. Katanya masa iya cowok ngelap badan cewek."
"Lah? Bukannya pas aku di rumah sakit dia udah tahu kalau aku cowok?"
Indira menggeleng khidmat. Sementara Gito hanya diam saja sembari mendengarkan cerita kedua anaknya.
"Nggak untuk 3 hari pertama. Terus aku bilang aja kalau yang sebenarnya lapin tubuh kamu itu suster perempuan, kok. Ka Alfa cuma bantu dorongin kereta buat bawa baskom sama handuk doang, gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas - The Story Of After Rain 2 [Reinkarnasi] || 48 {END}
Teen FictionKonon katanya, alam semesta tempat di mana manusia tinggal, adalah bukan satu-satunya tempat kehidupan manusia berlangsung secara nyata. Melainkan ada banyak sekali universe lainnya dalam satu kehidupan (Multiverse). Ketika seorang anak manusia terl...