Bab 15 Cewek Ceroboh

105 51 252
                                    

Detik - detik menuju pergantian tahun nih..💃

Kalian udah siapin apa?😎

Sehat-sehat pembacaku..🤗

Semoga tahun besok lebih baik dari ini
😇

Amin...😇

Jangan lupa vote yah...👍

~Happy Reading~

Setibanya di taman kota, semua rombongan bergegas keluar dari mobil yang baru saja Bima parkir. Kilatan lampu cahaya dari segala arah terus memancar menimpa jalanan yang luas. Sepanjang mata memandang, terlihat gedung-gedung tinggi mencakar langit berdiri kokoh dengan megahnya. Belum lagi dengan air mancur warna warni yang berada di tengah kolam, juga lahan luas yang disesakki beraneka ragam permainan dan pengunjung. Livia menatap takjup keindahan malam kota Jakarta yang belum pernah ia jumpai. Hatinya menghangat penuh kedamaian.

Saat ini, para karyawan apotek itu sedang singgah di sebuah warung sederhana yang menjual berbagai makanan olahan khas daging kambing. Mereka memilih untuk makan di luar tenda dengan menggelar tikar dan duduk bersama.

"Enak banget Bang makanannya. Gue boleh nambah gak?" seru Dewi setelah menghabiskan satu porsi tongseng kambing. Semua yang mendengar langsung mendelik ke arahnya secara bersamaan.

"Tong-seng lagi?" sahut Bima hampir tersedak. Ia buru-buru mengambil gelas berisi jeruk hangat miliknya.

"Bukan Bang, sate aja." jawabnya nyengir.

Dino menggelengkan kepalanya heran. "Itu perut apa karet?!" ujarnya memicu tawa semua orang.

"Kayaknya habis ini lo harus minum captopril deh, biar darah tinggi lo gak menjadi. Males gue jadi bulan-bulanan lo ntar. Ya nggak Mbak," sambung Ulin, menyenggol lengan kiri Livia pelan membuat suapan sendok yang nyaris masuk ke dalam mulutnya tumpah.

"Hm," deham Livia malas. Lantas segera menghabiskan makanannya yang tinggal separuh. Sejak tadi gadis itu hanya diam menikmati tongseng tanpa berkomentar apapun.

"Bang, kalau gedung yang ada di depan sana itu kampus ya?" tanya Livia usai merapikan piring kosong miliknya. Bima dan Bastian yang duduk bersebelahan langsung menoleh hendak menjawab pertanyaan cewek itu.

"Bang Bima," lanjut Livia sinis saat matanya menemukan sorot Bastian ikut menatapnya cukup dalam. Cowok itu sontak membuang pandangannya ke segala arah salah tingkah.

Kepedean banget sih, siapa juga yang nanya sama kamu. batin Livia gusar.

"Iya, itu kampus sastra Universitas Merdeka."

"Oh," Livia manggut-manggut sembari memandang gedung berwarna putih gading itu lekat-lekat.

"Kita jalan-jalan di sekitar sana yuk? Gue tahu, lo pasti penasaran banget kan?" usul Dino seolah mengetahui isi hati Livia.

"Emang boleh Bang?" tanya Ulin setelah menyeruput es jeruk di gelasnya sampai tandas.

Bima menyelesaikan kunyahannya seraya berpikir. Ia diam sejanak, mempertimbangkan permintaan karyawannya yang ingin berjalan-jalan. Mengingat waktu juga semakin malam. Kemudian, ia menoleh ke arah Bastian yang masih berdiam diri sibuk memainkan ponselnya untuk meminta pendapat.

"Tian, boleh nggak?"

Bastian yang mendengar namanya disebut langsung menjawab dengan malas. "Terserah!"

Suara tepukan dan sorak sorai seketika pecah sampai menarik perhatian orang-orang yang ada di sekitar mereka.

"Gue sama Ayu gak ikut, gue mau ke pasar malam deket situ aja." celetuk Dewi yang masih berkutat menikmati sate kambingnya.

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang