Happy weekend guys.....🤗
Adakah yang udah nunggu cerita ini update?😂
Siap buat baca part ini?🤭
Jangan baper, cerita ini mengandung nano2🤩
~Happy Reading~
Sejak tadi Bastian mengelilingi seluruh penjuru sudut apotek dengan pikiran sedikit resah. Sudah hampir lima kali ia berjalan mondar-mandir melewati tempat yang sama. Mulai dari apotek depan, dapur, halaman, gudang kemudian sampai kembali lagi ke kamarnya. Namun rupanya sosok yang ia cari tak jua ia temukan. Gadis itu menghilang tanpa jejak setelah pagi-pagi sekali menyapanya yang hendak berangkat berolahraga.
Bastian memijat hidungnya pelan, menerka-nerka ke mana perginya gadis yang mengenakan blouse hitam dengan celana jins biru dan sepatu flat hitam itu. Bahkan penampilan Livia yang sederhana terlihat begitu anggun di matanya. Apalagi saat mengingat senyumnya yang merekah. Bastian jadi salah tingkah sendiri. Lalu, pikirannya berkelana pada seseorang yang ia anggap sebagai rival-nya. Melihat penampilan Livia yang sudah rapi sepagi ini membuat dugaanya semakin kuat.
Sial! Lo pasti mau pergi sama Yunus lagi kan! batin Bastian kalut sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Lin, Livia bilang mau pergi ke mana nggak sama lo?" tanya Bastian saat menuruni tangga.
Ulin yang baru pulang dari pasar refleks berhenti dan memutar badannya menghadap Bastian. "Lah, emang dia nggak pamitan sama Abang? Bukannya dia tadi nungguin Abang di depan ya?" jawab Ulin.
Bastian mengernyitkan dahinya dalam, "Pamitan? Emang dia mau ke mana?"
"Pulang kampung Bang, masa trainingnya selama tiga bulan kan udah habis. Jadi hari ini dia pulang ke Bandung. Semalam sih udah pamitan sama anak-anak yang lain. Tapi pas mau pamit sama Bang Tian katanya Abang lagi sibuk, makanya pagi-pagi sekali dia nungguin Abang di depan." terang Ulin. "Emangnya gak ketemu?" lanjut cewek itu sambil menautkan kedua alisnya hampir bertemu.
Bastian mengganguk pelan, ada rasa menyesal menjalar di hati membuatnya sesak. "Oh, gitu. Ya udah, makasih ya informasinya. Lo boleh pergi."
Ulin pun bergegas mengangkat kembali tas belanjaannya dan berjalan menuju dapur.
"Jadi selama tiga hari ini gue gak bakal liat lo?" ucap Bastian tanpa semangat. "Baiklah, gue bakal buktiin kalo ternyata rasa yang ada di hati gue ini salah." ujarnya jengah sambil meremas rambutnya frustasi. Cowok itu lantas meyakinkan dirinya bahwa Livia hanyalah penganggu kecil yang tidak akan berarti apa-apa di dalam hidupnya.
Detik demi detik terus berjalan. Silih berganti menjadi menit lalu berakumulasi dari satu jam dan seterusnya. Bastian sampai bosan menunggu waktu yang tak kunjung beranjak. Ia memejamkan matanya sejenak, lalu menoleh pada jam dinding yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Kopi, Bang," tawar Dino sembari meletakkan dua cangkir kopi panas di atas meja. Hari ini ia kedapatan jatah sif bersama Bastian sampai siang.
"Oke. Thanks, Din." sahut Bastian menolehnya sebentar kemudian kembali memperhatikan suasana jalanan yang ramai. Ia memejamkan matanya lagi, sialnya, kali ini bayangan seseorang yang ingin ia hindari dengan paksa malah masuk menyulusup ke dalam pikirannya tanpa permisi.
"Kenapa Bang? Galau banget kayaknya? Kangen ya?" goda Dino yang diam-diam memperhatikan Bastian sambil menyesap kopinya.
Bastian menggaruk hidungya pelan, "Kangen? Maksud lo sama Livia?"
Dino yang mendengar jawaban Bastian seketika tersedak. Ia tidak menyangka jika cowok itu akan menyebut nama yang memang sedang ia curigai sebagai dalang depresotnya seorang Bastian. Ingin rasanya ia tertawa, namun ia tahan sekuat tenaga. Ia masih ingin bekerja di apotek dengan suasana hati yang damai dan tenang. Maklum, angsuran motornya baru dibayar tiga kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Days (End)
RomanceIni adalah kisah gadis bernama Livia Almahera bersama 365 harinya. Livia tidak mengira jika keputusannya menerima tawaran kerja di apotek akan membawa dampak besar terhadap hidupnya. Terlebih apa yang ia impikan untuk kuliah bisa terwujud. Ia menjad...