Bab 31 Tentang Perasaan

131 46 185
                                    

Happy weekend guys...🤗

Sehatkah anda hari ini??😇

Semoga sehat dan bahagia selalu ya..😁

Seberapa antusias kalian buat nunggu part ini?🤭

Biasa aja kah wkwkwk...🤣

Oke, lets go....💃💃💃💃

~Happy Reading~

Selesai dengan urusannya, Bastian bergegas menemui Livia yang ia tinggal sendirian di ruang lukis. Perasaannya tiba-tiba merasa tidak enak. Ia bahkan sampai berlari kecil untuk mempercepat langkahnya. Saat membuka pintu, betapa terkejutnya Bastian ketika mendapati Livia sedang menangis karena tindakan Raka. Cowok brengsek itu tengah melecehkan Livia di depannya.

Melihat itu, Bastian geram bukan main. Emosinya meledak begitu saja. Ia mengeratkan giginya kuat seraya membanting kursi yang ada di dekatnya.

Brakkk!!

"SIALAN LO! DASAR BANGSAT!!!" teriak Bastian dengan luapan amarah menyelimuti.

Bastian berjalan ke arah Raka dengan tatapan tajam dan tangan terkepal kuat. Ia tidak segan-segan memukul, menendang dan meninju rahang cowok itu tanpa henti. Raka yang tersungkur berusaha ingin bangkit dan membalas pukulan Bastian. Namun, tenaga Bastian terlalu kuat. Ia bahkan menyeret Raka sampai ke luar ruangan saat melihat Livia terus menangis sembari memeluk tubuhnya.

Di depan banyaknya orang yang berkerumun, Bastian masih belum bisa mengendalikan emosinya. Ia menarik kerah kemeja Raka begitu kuat sambil terus menghajar wajahnya. Ia sama sekali tak peduli dengan darah segar yang mengalir dari hidung maupun sudut bibir Raka. Dalam hidupnya, ini adalah kali pertama Bastian menghajar orang secara brutal. Memperlihatkan sisi gelap dirinya yang sebelumnya masih bisa ia kendalikan.

"LO DENGER INI BAIK-BAIK. LIVIA ITU CEWEK GUE. LO YANG BANGSAT! SEKALI LAGI LO USIK DIA MATI LO DITANGAN GUE!" tekan Bastian keras memberi peringatan kemudian melepas cengkramannya. Ia berlalu dari hadapan semua orang dengan tatapan tak acuh. Ia segera menghampiri Livia, membawa pergi gadis itu dengan penuh penyesalan.

****

"Maaf, Liv, ini semua salah gue." bisik Bastian penuh rasa bersalah. Namun, gadis yang ada di sebelahnya hanya menggeleng pelan sembari mengusap air matanya yang masih jatuh. Sebenarnya, Livia sudah berusaha melupakan peristiwa tadi dan menahan tangisnya, tapi bayangan buruk itu masih menghantui pikirannya. Ada sedikit trauma membekas dibenaknya.

"Nggak Kak, aku justru mau bilang makasih karena Kak Tian udah datang nolongin aku." ujarnya dengan suara serak.

Saat ini mobil melaju membelah jalanan kota dengan suasana hening. Dada Bastian tak henti merasakan sesak dipenuhi rasa bersalah. Cowok itu berkali-kali mengumpat dan menyalahkan dirinya sendiri. Nyatanya, moment yang ingin ia ciptakan penuh kebahagiaan malah berakhir dengan begitu memilukan.

Setelah keadaan Livia mulai tenang, Bastian mengajak gadis itu untuk menikmati senja di sebuah café yang lokasinya berada di rooftop. Ia tidak mungkin membawa Livia pulang dalam keadaan yang jauh dari kata baik. Kondisinya masih terlihat kacau. Livia butuh sesuatu untuk membuatnya tersenyum kembali.

Bastian menatap teduh iris mata Livia yang tengah menikmati suasana café. Air mata gadis itu tak lagi menetes membasahi pipinya yang bersih. Sinar di wajahnya perlahan terbit seiring garis senyum yang tercetak dari bibirnya membuatnya bisa bernapas lega.

"Are you okay?" tanya Bastian lirih. Memastikan keadaan Livia sudah benar-benar pulih dari rasa traumanya.

Gadis itu mengangguk pelan seraya tersenyum. Bastian bangkit berdiri kemudian berjalan meninggalkan Livia seorang diri. "Tunggu di sini aja ya," pesannya.

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang