Bab 2 Secercah Harapan

256 116 393
                                    

Hallo... balik lagi nih sama cerita aku...

Plis, jangan bosen. Ini cerita seru banget buat kalian lewati...

Tetap tenang dan sabar, baca cerita ini pelan2 aja...

Gak usah buru-buru...

Aku bakalan rajin2 up kok..

Udah siapp baca??

Udah siap vote dan koment???

Kuy,,, langsung baca..



Sore ini Livia berjalan menyusuri jalan raya dengan perasaan kalut. Ia memutuskan untuk naik bis setelah tadi berpisah dengan Stella dan menolak tawarannya yang ingin mengantarnya sampai ke rumah. Dalam langkahnya, gadis itu terus menghela napas panjang. Membayangkan apa yang akan terjadi nanti jika dirinya tiba di rumah dengan keadaan lusuh seperti ini.

"Jam berapa ini Livia?!" tanya Gayatri- Ibu Livia sedikit membentak. Sejak tadi perempuan itu sudah duduk di ruang tamu menunggunya.

"Jam tujuh hampir setengah delapan Bu," jawab Livia menunduk. Langkahnya terhenti di depan pintu dengan dada sesak. Ia mencoba bersabar menghadapi sikap sang Ibu yang terkesan keras kepadanya. Sangat jauh berbeda saat memperlakukan adik laki-lakinya, Raditya.

"Ke mana saja jam segini baru pulang? Mau jadi apa kamu? Percuma saja Ibu mahal-mahal sekolahin kamu kalau hasilnya seperti ini. Cari kerja saja kalah sama lulusan SMP. Sekarang malah pulang malam, mau jual diri?!" maki Gayatri tajam membuat jantung Livia seperti ditusuk seribu duri.

Gadis itu masih menunduk mendengar cercaan Ibunya dengan kepala berat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah. Hatinya perih tercabik-cabik. Ia masih bisa terima jika yang menghina dirinya adalah orang lain. Tapi kali ini, yang menjatuhkan dan mematahkan semangatnya adalah Ibu kandungnya sendiri. Livia sudah tak sanggup berdiri lagi, badannya yang kecil nyaris ambruk jika sang Ayah yang ternyata ada di belakangnya tidak menahannya.

"Cukup Gayatri! Kamu sudah keterlaluan sama Livia! Tidak seharusnya kamu bilang seperti itu kepada anak kamu sendiri! Apa tidak bisa bertanya baik-baik?" tekan Irawan- Ayah Livia penuh kecewa, lantas menuntun anak gadisnya memasuki kamar melewati Ibunya yang masih diselimuti amarah.

Di dalam kamar, Livia masih menangis ditemani oleh ayahnya yang merasa iba. Irawan sendiri juga tidak menyangka kalau istrinya akan tega menuduh putri semata wayangnya dengan cacian keji yang tidak pantas diucapkan. Lelaki itu berkali-kali menenangkan Livia, juga menyuruhnya untuk melupakan semua perkataan buruk sang Ibu kepadanya.

"Sabar Liv, Bapak yakin kamu pasti dapat pekerjaan yang baik. Maafkan Bapak, ini semua karena kesalahan Bapak. Andai saja Bapak punya uang, kamu pasti bisa kuliah."

Livia mengangguk sambil menyeka air matanya yang masih mengalir. Ia sudah berusaha tenang, tapi, entah mengapa perasaan sakit yang digores oleh Ibunya terus mencuat di dalam hati. "Iya, Pak. Livia udah nggak papa kok."

"Sekarang kamu makan dan istirahat. Ingat ucapan Bapak, jangan dimasukin ke dalam hati kata-kata Ibumu tadi. Dia seperti itu karena terlalu mengkhawatirkan kamu. Ibu itu sayang sama Livia." pesan Irawan sebelum menutup pintu kamar dan keluar. Livia hanya tersenyum simpul menatap kepergian Ayahnya dari balik pintu.

Jam di dinding kamar Livia sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, mata Livia enggan sekali untuk terpejam. Hatinya masih perih jika mengingat kemarahan Ibunya tadi. Sesekali ia kembali mengusap air matanya yang kembali jatuh. Ia sudah menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi kenyataannya rasa sakit itu terlalu dahsyat menyiksa batinnya. Livia mengambil ponsel di atas nakas, lalu menggulirnya ke nomor milik Stella untuk melakukan panggilan dengannya.

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang