Bab 19 Rasa yang Salah

126 48 260
                                    

Selamat malam minggu🤗

Semoga pembacaku bahagia selalu😇

Jangan lupa vote, coment and share...🥰

Jangan lupa follow IG aku

coretan.njiejanah ya guys.....

~Happy reading~

Apa yang akan orang lain bilang saat aku menikah tapi yang jadi wali bukan ayahku? Bagaimana dengan calon suami dan keluarganya nanti, apa yang harus aku katakan? Apa mereka bisa menerimaku?

Pikiran buruk itu terus mengusik memenuhi kepala Livia. Meski rencana masa depannya itu masih jauh, kelak hal itu akan terjadi dan harus ia lalui. Kini, ia bahkan merasa tidak pantas untuk dekat dengan seorang lelaki manapun. Ia tidak yakin setelah menceritakan keadannya, keluarga itu mau menerimanya dengan utuh dan tulus. Livia sangat malu mengakui kalau ia adalah putri yang dilahirkan di luar nikah.

"Bang Bima kapan pulang?" tanya Livia terkejut saat berpapasan dengannya di halaman sedang mencuci mobil. Gadis itu baru kembali dari luar setelah menemani Ayahnya menunggu angkot untuk pulang ke Bandung. Kira-kira hampir tiga jam Livia pergi meninggalkan tugasnya di apotek.

"Eh, baru aja sih." ujar Bima tak kalah kaget. Ia menghentikan aktifitasnya, kemudian beralih menyapa Livia. "Kata Tian, Ayah kamu tadi ke sini. Masih ada di luar?"

"Iya, Bang, tapi baru aja pulang. Maaf, aku jadi melalaikan tugas aku di apotek." tukas Livia merasa sungkan.

Bima tersenyum seraya menyugar rambutnya yang lebat ke belakang. "Santai aja Liv, nggak apa-apa kok. Tadi Bastian yang bantu jaga di depan sama Ayu. Nah, tuh orangnya datang." Bima menunjuk ke arah Bastian yang baru masuk melewati pintu pagar, sontak membuat pandangan Livia menoleh padanya.

"Dari mana lo?" tanya Bima penasaran.

"Ke depan, cari makan." jawab Bastian lesu sembari menunjukkan kantong plastik hitam di tangannya. "Duluan ya," pamitnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan keduanya.

"Tuh orang kenapa? Tumben aneh." tukas Bima pelan sambil mengeryitkan dahinya heran.

"Bang," panggil Livia lirih. Bima menoleh, memperhatikan lagi raut wajah Livia dengan pandangan berbeda. Gadis itu terlihat lelah dengan mata merah mendominasi. Senyumnya hambar. Suaranya berat. Pikiran dan pandangannya kosong seperti sedang memikul beban berat.

"Kamu habis nangis?" potong Bima sebelum Livia melanjutkan kalimatnya.

Livia menggeleng, lalu membuang perhatiannya dari Bima yang terus menatapnya secara intens. Ia mendongak, berusaha menghalau air matanya supaya tidak jatuh lagi. Namun, samar-samar awan biru bercampur putih yang ia lihat berubah menjadi buram, sebab tertutup oleh cairan bening yang keluar dari kedua sudut matanya.

"Hapus," Bima menyodorkan sekotak tisu yang baru saja ia ambil dari dalam mobil.

Livia meraih tisu pemberian Bima kemudian mengusap pipinya yang basah. "Aku boleh minta waktunya sebentar gak Bang? Aku mau cerita." pintanya dengan suara bergetar.

Bima mengangguk sambil tersenyum. "Boleh."

Mereka berdua lalu berjalan menghampiri kursi yang ada di bawah pohon tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebelum itu Bima juga memberikan air mineral kepada Livia agar perasaannya sedikit tenang. Bima paham, Livia yang sekarang ada di depannya sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu sedang ada masalah.

"Udah baikan?" tanya Bima setelah menunggu Livia meneguk minumannya. Tatapan hangat yang ditunjukkan senantiasa membuat siapa saja yang ada di dekatnya merasa nyaman. Begitupun Livia. Cowok itu memang pandai menenangkan orang lain saat sedang dilanda masalah.

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang