Bab 4 Dunia Frustasi

209 99 300
                                    

Welcome back to the my story....

Maap ya update malam2 gini...

Jangan lupa buat ramaikan cerita ini dengan komentar kalian...

Jangan lupa vote!!

Jangan lupa follow...

Jangan lupa share ke medsos, atau teman2 kalian juga...

Dan yang penting jangan lupa bahagia😁

Happy reading, semoga sukaaa...



Di sepanjang perjalanan suasana yang terjadi di dalam mobil hanyalah hening. Livia terus menatap bayang-bayang pohon yang ia lihat sebelum akhirnya diterjang oleh mobil Bima yang melaju kencang. Semakin jauh mereka meninggalkan kota Bandung dan mulai memasuki daerah ibukota Jakarta. Bima masih terdiam, sesekali ekor matanya melirik Livia yang berada di sampingnya tanpa tahu harus berbicara apa. Ia sendiri paham dengan kondisi hati gadis itu saat ini. Namun, berlama-lama pada situasi sepi bukanlah hal yang menyenangkan. Bima sesekali berdeham kecil untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka.

"Lagi mikirin apa?" tanya Bima membuka obrolan. Livia yang sadar ditegur oleh Bima langsung menoleh seraya tersenyum. Enggak mungkin juga kan ia justru menangis meraung-raung minta dipulangkan meskipun hati kecilnya sungguh menginginkannya.

"Lagi menghayati peran jadi TKI aja sih Kak, gini amat ya rasanya." tukas Livia terkekeh. Bima sendiri langsung tertawa mendengar orasi cewek mungil yang ternyata punya hobi bercanda.

"Semua akan baik-baik aja Liv. Mungkin kamu bakal jadi TKI paling beruntung yang ada di sejarah kehidupan manusia." sahut Bima percaya diri. Kekehan Livia berubah jadi tawa setelah mendengar perkataan Bima yang menurutnya sangat berlebihan. Entah mengapa, melihat Bima dari jarak dekat membuat hatinya sedikit lebih tenang. Pantas saja Stella tergila-gila dengan lelaki bergaya rambut belah tengah ala curtain haircut itu.

"Oh, ya. Kalau panggil saya Bang aja. Soalnya anak-anak di apotek biasa panggil saya gitu." tambah Bima memberitahu, Livia lantas mengangguk menuruti permintaannya.

"Bang Bima yang punya apotek ya?" tanya Livia kepo. Memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut.

"Bukan. Saya cuma pegawai sama seperti kamu. Saya Apoteker." jawab Bima merendah. Livia lagi-lagi hanya menganggukkan kepala menyahuti penjelasannya. Meski belum paham, setidaknya istilah Apoteker tidak terlalu asing di telinganya. Ia sedikit tahu bagaimana gambaran profesi tersebut.

"Saya dulu sebenarnya juga sekolah di tempat kamu dan Stella lho," beber Bima. Raut wajahnya terlihat binar dan bangga.

"Eh, Kak Bima, eh, Bang Bima serius?!" timpal Livia membelalakkan mata. Bima yang terkejut sontak menoleh dan menatapnya secara intens. Livia lekas membungkam mulutnya rapat-rapat. Lucu, batin Bima dalam hati.

"Maaf Bang, emang suka gak bisa direm kalau ngomong."

"Nggak papa Liv, saya senang dengan orang yang ceria dan enerjik seperti kamu." kata Bima berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia kembali fokus mengemudikan mobilnya pada jalanan yang rapat.

"Kalau gitu kita satu lingkungan dong? Bang Bima asli Bandung?" tanya Livia antusias.

Bima tersenyum kecil, "Yah, begitulah."

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang