Bab 20 Tegar

127 61 359
                                    

Apa kabar hari ini?🤗

Masih semangat kan menjalani hari kalian?😇

Jangan putus asa ya,, ayo tersenyum dan jangan lupa bersyukur😇

Semoga cerita ini menghibur😁

Semoga cerita ini menghibur😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guys, aku imut gak sih?🙃

~Happy reading~

Sudah berhari-hari setelah kedatangan Ayahnya, keresahan yang membelenggu hati Livia masih enggan pergi. Perasaannya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada pada dirinya. Label buruk itu terlalu melekat, mendoktrin isi pikirannya untuk cemas terhadap masa depan yang akan ia jalani. Livia butuh waktu untuk kembali berdamai dengan dirinya seperti sedia kala.

Seperti yang tejadi pada sore hari itu. Beberapa orang yang berkunjung ke apotek tiba-tiba saja membicarakan hal yang topiknya membuat hati Livia tersentil. Entah tanggapan Livia yang berlebihan, atau perasaanya yang sedang sensitive, apa yang ia dengar seolah menyindir keadaannya.

"Bu, tahu Anak Pak Wardi yang baru kelas dua itu, katanya dia hamil dan dikeluarkan dari sekolah lho Bu. Aduh, pusing saya sama kelakuan anak-anak zaman sekarang. Disuruh belajar malah pada punya anak. Apa nggak repot nanti ya? Bikin malu keluarga aja!" cibir perempuan berusia empat puluh tahunan pada seorang perempuan di sebelahnya sinis. Livia yang sejak tadi menulis nota pesanan dan mendengar perbincangan mereka hanya mampu meneguk ludahnya dalam.

"Iya, Bu. Saya juga baru denger kemarin dari anak saya. Amit-amit ya Bu, semoga Anak kita terhindar dari perbuatan dosa seperti itu." sahut perempuan tadi menimpali.

"Biasanya kalau zina begitu, anak yang lahir sukanya perempuan."

"Eh, masa sih Bu?"

"Heem! Beneran! Biar jadi pelajaran buat orang tuanya. Kan malu aibnya nanti ketahuan sama semua orang pas nikahin Anaknya."

"Oh, begitu...."

Livia terkejut ketika merasa sebelah pundaknya ada yang menepuk. Ia menoleh dan menemukan Bastian sudah berdiri di belakangnya dengan wajah datar.

"Kenapa, Kak?" tanya Livia.

"Ambilin gue Captopril 25 mg yang generik satu box."

"Buat apa?" sambungnya sambil mengernyitkan dahi bingung.

"Buat gue minum biar nggak darah tinggi lihatin lo yang kerjaannya cuma melamun. Fokus. Nggak usah dengerin omongan orang yang gak penting dan ujung-ujungnya bikin lo tambah sakit hati. Buruan!" Perintah Bastian tegas. Livia lekas berjalan ke belakang menuruti permintaanya. Meski sebenarnya ia masih ingin mendengarkan pembicaraan Ibu-ibu yang ada di depan sana.

"Mbak Dewi udah baca berita terbaru hari ini belum?" tanya Ulin. Saat ini keduanya tengah asyik menikmati gorengan seperti biasa. Livia melirik mereka sekilas kemudian kembali melanjutkan pekerjaanya. Namun, tiba-tiba saja obrolan yang sedang Ulin dan Dewi perbincangkan mengusik pikirannya.

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang