Bab 32 Kenyataan Pahit

136 49 243
                                    


Yeayy... double up nih!

Biar masih sepi, tapi gak apa2lah...

Gass aja deh.. emang niat aku mau bikin cerita ini end... hehehe....

Tanya dong, kalian suka cerita genre apa sih?

Usia sekolah, kuliah atau kerja?

Happy or sad ending?

Rata2 usia kalain baru berapa?

Okay,, thanks yang udah mau jawab..

Lanjut guys,, langsung aja baca

Jangan lupa koment di setiap paragraf ya

~Happy Reading~


Bastian tiba di rumahnya dengan perasaan gelisah. Ia terus mengikuti langkah laki-laki yang ada di depannya dengan hela napas pasrah. Sampai di sebuah ruangan berwarna monokrom, Bastian hanya diam sambil menundukkan pandangannya ke bawah. Baru selang beberapa detik kemudian pintu kembali terbuka dengan menghadirkan sosok seorang perempuan paruh baya dan muda yang terlihat cemas.

Bara membalikkan tubuhnya menatap Bastian begitu tajam. Sungguh, kali ini ia benar-benar kesal dengan sikap Anaknya yang di luar batas. Wajah kaku Bara menegang dipenuhi amarah. Ia bahkan sampai memijit keningnya pelan untuk sekadar meredakan sakit di kepalanya.

Bastian masih menunduk dalam. Ia bukan sedang takut, tapi ia ingat bahwa ini bukan kali pertama dirinya akan dihakimi oleh Ayahnya seperti ini. Ia sudah hapal dengan perilaku sang Ayah yang suka berceramah dan menghukumnya. Meskipun dirinya tidak bersalah.

"Ulah apa lagi yang kali ini kamu lakukan, Gaga?" tanya Bara berusaha menahan amarah.

"Gaga tidak melakukan apa-apa Pa, Gaga cuma membela kebenaran. Gaga hanya ingin memberi Raka sedikit pelajaran."

"SOK MAU JADI PAHLAWAN! MEMANGNYA SIAPA YANG MAU KAMU BELA?!" tanya Bara remeh menyentak dadanya. Bastian hanya diam, lidah cowok itu terlalu kelu untuk menyebut nama seseorang di hadapan Ayahnya.

"PERGI KE MANA KAMU WAKTU ITU?!" seru Bara mulai tidak sabar. Membuat suasana yang sudah panas semakin mencekam. "JAWAB GAGA! APA KAMU TIDAK DENGAR PAPA SEDANG BERTANYA?"

"Galeri seni, Pa," lirih Bastian.

Pyarrr!!!

Bara dengan kuat melempar vas bunga yang ada di atas meja tepat di depan Bastian. Beruntung, pecahan kaca itu tidak sampai mengenai Bastian yang berdiri kaku di tempatnya.

"MAS!" pekik Rifa mencoba menenangkan suaminya. Wanita itu terlihat takut dengan perilaku Bara saat sedang marah.

"SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG, JAUHI TEMPAT ITU! KAMU SADAR, APA YANG SUDAH PAPA PILIHKAN BUAT KAMU ITU YANG TERBAIK!"

"Terbaik buat Papa belum tentu terbaik untuk aku, Pa!" balas Bastian membela diri. Ia menatap tajam Ayahnya yang kini tengah memandangnya kasar. Selalu itu yang Ayahnya ucapkan untuk menentang kemauannya.

"Rifa! Apa anak seperti ini yang kamu bilang berhasil kamu didik?" cemoh Bara pada istrinya menyulut emosi Bastian. "Anak yang sudah berani membantah ucapan Ayahnya?! Hah!"

"Cukup, Pa! Jangan hina Mama lagi buat membenarkan ucapan Papa! Ini bukan salah Mama. Gaga yang sudah muak dan capek dengan semua tingah Papa selama ini. Gaga udah besar Pa, Gaga tahu mana yang terbaik buat diri Gaga sendiri."

"Oh, jadi kamu sudah merasa bisa hidup sendiri setelah Papa memberikan semua hal yang kamu butuhkan. Dan ini balas budi yang ingin kamu berikan ke Papa? Hah!"

365 Days (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang