Suasana di kelas VB ramai seperti kemarin. "Kalau kamu ingin mendengar hantu, telepon saja nomor ini!" Ruth menunjukkan sebuah nomor telepon di selembar kertas.
"Ah! Yang benar," jawab Pat penasaran.
"Coba saja! Tapi nelponnya harus di atas jam 9.00 malam," pesan Ruth.
Malamnya, pukul 9.25, Pat menutup buku pelajarannya. Ia hendak tidur namun tiba-tiba teringat sesuatu. Nomor telepon misterius! Ya, nomor telepon misterius pemberian Ruth. Kata Ruth, pemilik nomor telepon tersebut ada di rumah hantu. Benarkah demikian? Pikir Pat penasaran.
Kini jarum jam menunjukkan tepat pukul setengah sepuluh. Pat keluar dari kamar, hendak menelpon. Ayah Ibu sudah tidur, pikir Pat. Ia berjalan mendekati meja telepon. Dengan hati-hati dia menekan nomor 7990398. Setahuku, di perumahan sekitar sini semua nomor telepon diawali dengan angka 799, pikir Pat. Benarkah ada rumah hantu di sekitar sini? Pikirnya. Sesaat kemudian terdengar gagang telepon diangkat. Namun tak ada sapaan apapun.
"Halo, selamat malam!" sapa Pat mendahului.
Lama Pat menunggu namun tidak ada jawaban sepatah kata pun. Jauh di sana terdengar begitu sepi, hening. Lalu, siapa yang mengangkat gagang telepon itu? Tanya Pat dalam hati. Tiba-tiba beberapa detik kemudian ....
"Astaga! Suara siapa itu?" Pat terkejut.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terdengar jauh di sana suara orang yang sedang tertawa terkekeh-kekeh. Sepertinya tawa seorang nenek-nenek.
"Halo," kata Pat lagi.
Namun suara tawa nenek itu tidak juga berhenti, makin memekik. Bahkan diikuti dengan menggedor-gedor meja. Ya ampun, benarkah ini Nenek Lampir? Tanya Pat dalam hati. Ditutupnya gagang telepon, lalu lari ketakutan menuju ke kamarnya. Benar-benar rumah hantu, pikirnya.
"Ruth, ke sini!" sapa Pat tatkala bertemu Ruth di sekolah pagi itu.
"Ada apa?" tanya Ruth.
"Semalam aku sudah menelepon ke nomor misterius itu," ujar Pat.
"Tuh, kita dibohongi lagi, kan!" kata Ruth enteng.
"Maksudmu?" Pat heran.
"Kemarin aku juga nelpon, sesudah maghrib. Tapi tak ada yang angkat."
"Tapi tadi malam aku bisa nyambung!"
"Kapan!" tanya Ruth mulai serius.
"Tadi malam, sesudah belajar. Kira-kira di atas jam sembilan."
"Astaga, aku baru ingat! Dick memang menyuruhku untuk menelpon di atas jam sembilan malam," kata Ruth sadar.
Pat lalu menceritakan yang dialaminya tadi malam.
"Ngomong-ngomong, nomor telepon itu kamu dapat dari mana?" tanya Pat.
"Dick bilang, orang itu tak mau disebut namanya. Ah, aku jadi ingin coba telepon lagi," ujar Ruth penasaran.
Malam pun tiba. Ruth mencoba menekan nomor telepon misterius itu. Dan ternyata memang benar. Ia mengalami hal yang sama persis dengan yang diceritakan Pat. Bahkan jika didengar lebih lama, muncul suara anjing yang sedang melolong. Oh, suasananya seperti di kuburan tua, pikir Ruth. "Hiii ..." Ruth merinding ketakutan. Ditutupnya gagang telepon dan berlari ke kamar tidur.
Malam itu, Pat juga menelepon ke nomor misterius itu kembali. Agar tidak bersamaan dengan Ruth, ia menelepon lebih malam lagi. Pukul 10 malam. Suara tawa nenek-nenek kembali terdengar, diiringi suara gedoran meja.
"Hai nenek tua! Keterlaluan, kamu bisa dengar aku tidak!" tanya Pat sedikit marah. Padahal sebenarnya dia sendiri mulai ketakutan. Tiba-tiba saja suara tawa nenek itu terhenti. Beberapa detik kemudian terdengar suara iklan produk detergen seperti yang di televisi. Sama persis. Entah berapa lama. Lalu gagang telepon dibanting keras. Saluran pun terputus.
"Astaga! Perbuatan siapa ini?" Pat keheranan. Ia mencoba menghubungi nomor telepon misterius itu kembali. Namun tidak ada yang mengangkat. Berkali-kali ia mencoba. Namun tak ada yang mengangkat juga.
"Sial!" kata Pat kecewa dan buru-buru masuk kamar. Sepertinya itu bukan rumah hantu. Pasti ada orang iseng, pikir Pat. Esok paginya,
"Bu! Tahu tidak, siapa pemilik nomor telepon ini?" tanya Pat pagi itu.
"Astaga! Pagi-pagi sudah tanya nomor telepon. Tidak tahu," jawab Ibu sambil menuangkan beberapa sendok gula ke dalam gelas susu.
"Mana? Coba Ayah lihat!" ujar Ayah, lalu mengamati nomor telepon itu.
"Hmm, kelihatannya ada di sekitar perumahan ini. Coba saja buka buku telepon, atau tanya ke pusat informasi 108," ujar Ayah.
"Ya ampun, pelupanya aku," kata Pat, lalu bertanya ke pusat informasi 108. "Ya ampun ..." Pat sangat terkejut ketika tahu nama pemilik nomor telepon itu. Pak Haji Akhmad Khusnan. Bukankah dia ayah Dick?
Pat teringat. Ia pernah dengar kabar bahwa ayah Dick baru memasang saluran telepon pribadi, khusus untuk Dick. Tapi, untuk apa Dick melakukan semua ini? Untuk menakut-nakuti? Pat bertanya dalam hati.
"Hai Dick! Kamu memang keterlaluan. Untuk apa kamu membohongi kami?" tanya Pat ketika bertemu di kelas pagi itu.
"Hah, kamu tahu dari mana?" kata Dick malu-malu. "Maaf deh! Aku cuma ingin memberi tahu, bahwa sekarang aku sudah punya nomor telepon pribadi. Jadi kamu bisa menghubungi aku kapan saja," jawab Dick polos.
"Huu! Memangnya kamu orang penting!" sindir Pat. Dick cengar cengir.
"Terus, siapa yang tertawa seperti Nenek Lampir itu?" tanya Pat ingin tahu.
"Hohoho ... itu aku rekam dari salah satu film sinetron di televisi! Hebat, kan, aku!" ujar Dick bangga.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Hu! Begitu saja dibilang hebat," Pat berjalan mendekati Dick, hendak menjewer telinganya. Namun Dick segera berlari keluar kelas.
"Hai, ada apa ini?" tiba-tiba terdengar suara Ruth.
"Pat, jangan kasih tahu!" pesan Dick di luar kelas.
"Yes, Nenek Lampir, eh salah ... Kakek Lampir, hahaha ..." jawab Pat geli.
Ruth yang baru tiba di kelas menjadi heran, terbengong-bengong.
(Diceritakan kembali oleh Niam Murokhim)
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu tertarik membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.