Kampung Berwarna Paman Niko

60 3 0
                                    

Oleh : Maria Erliza

Bobo Nomor 45 Tahun XXIX 7 Februari 2002


Karla merengut.

Sudah dua hari ini ia kesal pada mamanya. Sebab Mama belum juga membelikan rumah boneka Barbie, yang sudah lama diinginkannya. Padahal Vidia dan Shiva, teman sekelasnya di SD Nusa Bangsa, sudah memiliki rumah boneka itu. Kemarin Shiva memang mengajak Karla bermain rumah boneka bersama di rumahnya. Tapi Karla malas. Ia ingin memiliki rumah boneka sendiri. Lengkap dengan ruang tamu, kamar boneka dan dapur. Semua serba kecil, mungil, tapi sangat mirip dengan aslinya. Aaah, pasti menyenangkan bermain boneka bila ada rumah bonekanya, pikir Karla.

Ting Tong!

Terdengar bel pintu berbunyi. Tapi Karla sengaja tidak beringsut dari sofa ruang tamu. Dia masih kesal. Akhirnya Mama yang sedang sibuk menyiapkan makan siang di meja makan, terpaksa berjalan menuju pintu. Hm, tebak siapa yang datang? Paman Niko! Ia adik Mama.

"Hallo! Karla di mana, Mbak?" tanya Paman Niko pada Mama. Kepalanya celingukan. Biasanya Karla langsung menghambur dan menyambut kedatangan Paman Niko. Tapi kali ini Karla diam saja, biarpun telinganya dipasang baik-baik mendengarkan suara Paman Niko.

Karla sangat menyukai adik Mama yang satu ini. Orangnya gembul, rambutnya gondrong dikuncir satu ke belakang. Tapi penampilannya tidak dekil. Paman Niko hobi fotografi. Jadi ke mana-mana selalu membawa kamera tele yang digantungkan di lehernya. Paman Niko suka bercanda, Karla betah berlama-lama di dekatnya. Selain itu Paman Niko juga seorang arsitek. Karyanya sudah beberapa yang dibangun. Karla sangat kagum padanya.

"Tuh, keponakanmu sedang ngambek, di ruang tamu. Minta dibelikan rumah boneka Barbie. Aku pikir, kan, sayang uangnya. Sebentar lagi Karla pasti bosan. Dia kan sudah mulai besar. Masa' mau main boneka terus," suara Mama terdengar samar-samar. Lalu suara langkah kaki Paman Niko. Mama menutup kembali pintu depan.

"Ho ho ho! Siapa itu, ngumpet di pojok sofa?" seru Paman Niko begitu melihat Karla duduk cemberut di ujung sofa. Karla tersenyum senang. Ingin langsung menghambur ke gendongan Paman Niko seperti biasanya. Tapi ia merasa malu pada Mama. Masak baru saja ngambek, tahu-tahu sudah tertawa-tawa. Aduh, gengsi dong, pikir Karla.

"Kenapa anak manis? Paman dengar, hari ini jadwal ngambek ya? Mau rumah boneka ya?" tanya Paman Niko dengan mimik lucu, sambil duduk di sebelah Karla. Karla mulai luluh, cair seperti es batu yang kena sinar matahari. Sementara Mama diam-diam pergi ke ruang makan dengan senyum lega menghiasi bibirnya.

 Sementara Mama diam-diam pergi ke ruang makan dengan senyum lega menghiasi bibirnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Iya, Paman! Shiva dan Vidia sudah punya, Cuma Karla yang belum. Paman Niko bikinkan dong. Paman kan arsitek. Kalau bisa bikin rumah besar, pasti bisa bikin rumah kecil!" rajuk Karla manja. Paman Niko tertawa, perutnya yang besar terguncang-guncang.

"Wah, justru bikin rumah-rumahan boneka itu lebih sulit. Harus ahli, soalnya detailnya kan kecil-kecil. Tapi Paman Niko punya 'rumah-rumahan' lain yang juga cantik, warna-warni, seperti rumah boneka. Malah lebih bagus. Kamu mau lihat tidak?" tawar Paman Niko. Karla mendongak, penasaran. Masa' sih ada rumah-rumahan yang lebih bagus dari rumah boneka?

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2002Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang