Oleh Winda Kusumadewi
Bobo No. 47/XXIX/02
"Eria, apa kamu jadi pindah?" tanya Lilih penasaran.
"Iya, memangnya kenapa, Lih?" Eria balik bertanya. "Sekitar seminggu lagi," tuturnya lagi seakan tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan sahabatnya itu. "Eh iya! Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin minta kenang-kenangan darimu, Lih," ujarnya lagi.
"Kamu memangnya mau pindah ke mana, sih?" tanya Lilih ingin tahu.
"Tidak tahu. Kan Papa yang mengurusnya," jawabnya.
"Terus kamu mau minta apa, Er?"
"Yang kini masih melingkar di tanganmu."
"Tapi kamu kan tahu ini kesukaanku," Lilih cukup terperanjat.
"Eit ... kok malah marah. Kan cuma nanya. Lagipula kalau ikhlas," ujar Eria sambil tertawa, sedangkan Lilih masih menimbang-nimbang.
Dan pertemuan itu berakhir setelah Lilih menyerahkan gelang itu pada Eria. Ia merasa tak mungkin tidak memenuhi keinginan sahabatnya itu.
Semakin dipikirkan, Lilih semakin tidak berkonsentrasi pada PR Matematika yang sedang ia kerjakan. Ia masih terus teringat pada sahabatnya itu. Pertemuan terakhir mereka adalah siang kemarin. Hari ini ia sudah tak melihat lagi wajah sahabatnya di sekolah. Teriakan Ibu dari dapur makin membuyarkan konsentrasi Lilih.
"Ya, Bu, ada apa?" sahut Lilih dari kamar.
"Ibu mau ke tetangga. Kamu ikut yuk!" ajak Ibu.
"Lo memangnya ada tetangga baru, Bu?" tanya Lilih seraya menuruni tangga untuk menemui Ibu.
"Baru tadi pagi. Memangnya waktu pulang sekolah kamu tidak lihat ya? Atau pikiranmu masih dipenuhi bayangan sahabatmu itu?"
Lilih mengangguk lesu.
"Sudahlah, tadi pagi Ibu lihat ada anak yang kira-kira sebaya denganmu," ujar Ibu. "Sekarang cepat kamu ganti baju."
Kini Lilih dan ibunya telah berada di halaman rumah tetangganya. Tak lama setelah Ibu menekan bel, pintu pun terbuka. Tampak seorang wanita muda.
"Oh, Bu Mukti, silakan masuk," sambut wanita itu.
"Lih, ini Tante Tami," kata Ibu memperkenalkan. Wanita itu mengangguk.
"Siapa namamu?" tanya Tante Tami.
"Lilih, Tante. Lilih Solihat," jawab Lilih.
Setelah itu Ibu melanjutkan mengobrol dengan Tante Tami. Sedangkan Lilih hanya dibiarkan bengong sendirian. Keduanya lupa bahwa Lilih masih ada di situ. Tetapi untunglah tak lama kemudian Tante Tami memperhatikan Lilih.
"Lih, sebentar dulu ya. Tante mau panggil Uti, anak Tante. Tadi dia tidur. Sepertinya capek sekali. "Ti .... Utiiii ..." teriak Tante Tami memanggil anaknya.
Tak lama kemudian tampak seorang anak keluar dari kamar dekat ruang tamu. Wajahnya tampak lelah. Sejenak Lilih memandangi wajah anak itu. Rasanya ia pernah kenal. Makin lama dipandang makin yakin siapa dia. Dia tak lain dari ....
"Lih, ini anak Tante Tami. Namanya Eria Syahri Pramukti. Kalau di rumah dipanggil Uti, kalau di sekolah dipanggil ...." Lilih sama sekali tak mendengarkan apa yang dikatakan Tante Tami.
"Eria ..." cetusnya dengan seru tertahan ketika Tante Tami akan menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan nama yang serupa. Muka Lilih tampak merah. Wajah anak perempuan itu pun tampak sama kagetnya. Ia segera menghampiri dan menggandeng tangan Lilih. Eria mengajak Lilih ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa pada ibu mereka.
"Lih, kita sekarang bertetangga ya?"
"Er, kenapa kamu tidak bilang sih?"
"Aku kan tidak pernah bilang akan pindah ke luar kota. Sekolah pun aku takkan pindah. Tapi aku juga tak menyangka akan bertetangga denganmu," jawab Eria. Tiba-tiba mata Lilih tertuju pada benda yang melingkar di tangan Eria.
"Gelang ini?" tanya Eria tiba-tiba mengagetkan Lilih. "Maksudku cuma bercanda. Rencananya aku mau mengejutkanmu di sekolah besok. Karena aku pindah rumahnya tidak jauh-jauh. Gelang ini akan kukembalikan besok. Tapi sudah ketahuan sekarang. Ya sudah, ini!" ujar Eria sambil menyodorkan benda itu ke tangan Lilih.
"Awas kamu ya!" ancam Lilih sambil mencubit tangan Eria. Bercanda tentunya.
Setelah itu keduanya asyik becanda. Sekarang giliran Lilih yang lupa kalau ibunya masih bingung di ruang tamu. Ibu Lilih belum tahu kalau sahabat Lilih yang hilang itu telah ditemukan. ***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2002
Kısa Hikayelanjutan dari Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001