Bobo Nomor 48 Tahun XXIX 28 Februari 2002
Dahulu kala di negeri Cina hiduplah kaisar yang bijaksana. Dia memiliki empat anak. Berbeda dengan ketiga kakaknya, Jio Sio, si bungsu, sangatlah mungil. Ketiga kakaknya besar dan kuat. Di mata ayahnya, mereka bagaikan matahari terbit, sedangkan Jio Sio bagai bintang kecil yang bersinar terang.
Setiap pagi, ketika angin bertiup dari arah timur, Jio Sio bermain layang-layang. Dan setiap sore, ketika angin menghembus ke barat, dia kembali menerbangkan layang-layangnya.
Layang-layang itu terlihat seperti sekuntum bunga yang mekar di angkasa luas. Seorang biksu yang setiap hari melewati istana membuat puisi tentang layang-layang itu.
Layang-layangku terbang
mengarungi angkasa
Menembus cakrawala
menggapai surga
Jiwaku melayang
seiring kepak sayapnya
Setiap hari Jio Sio mengucapkan terima kasih pada biksu itu untuk puisinya yang indah. Lalu ia pun asyik bermain dengan layang-layangnya.
Namun suatu ketika, suasana damai di istana terganggu. Beberapa pegawai istana berniat jahat pada kaisar.
Suatu hari saat kaisar sedang beristirahat seorang diri, mereka menangkapnya. Kaisar lalu diseret menuju menara yang terletak di tengah padang rumput yang luas. Hanya Jio Sio yang melihat kejadian itu.
Menara itu hanya memiliki sebuah jendela. Para pengkhianat menutup menara dengan setumpuk bata dan batu-batuan. Kemudian mereka kembali ke istana dan mengabarkan bahwa kaisar telah wafat.
Mendengar berita tersebut, ketiga kakak Jio Sio melarikan diri. Namun Jio Sio mendirikan pondok dari kayu di tepi padang rumput itu. Setiap hari, saat malam tiba dan sebelum matahari terbit, ia berjalan menyeberangi padang rumput menuju menara. Di sana ia mencoba menerbangkan layang-layangnya. Pada benang layang-layang itu, diikatkannya keranjang kecil yang berisi sedikit nasi, kue dan teh. Layang-layang itu menarik keranjang ke atas hingga mencapai jendela menara.
Dengan cara inilah ayah Jio Sio, sang kaisar, dapat bertahan hidup. Satu minggu lamanya para pengkhianat menguasai istana. Sikap mereka yang sewenang-wenang membuat rakyat resah.
Suatu hari Jio Sio menyiapkan keranjang makanan untuk ayahnya. Biksu tua yang bijak itu lewat di depan gubuknya. Jio Sio tersenyum padanya, namun tampaknya biksu itu tidak melihatnya. Biasanya ia selalu mengulang-ulang puisi layang-layang dengan suara lantang. Namun hari itu Jio Sio merasakan sesuatu yang berbeda. Kata-kata yang diucapkan si biksu penuh dengan teka-teki.
Setelah merenungkannya beberapa lama, barulah Jio mengerti. Biksu itu mengatakan sesuatu hal yang penting. Sejak saat itu Jio sibuk menganyam rumput tali dengan potongan rambutnya yang panjang dan hitam. Akhirnya anyaman tersebut telah menjadi sebesar pergelangan tangannya yang kecil dan setinggi menara. Jio lalu menghentikan pekerjaannya. Ia mengikatkan tali itu pada benang layang-layang dan langsung menuju padang rumput.
Ketika sampai di dekat menara, Jio Sio memanggil ayahnya. Namun suaranya terlalu kecil sehingga hilang bersama angin. Akhirnya, sang kaisar melihat layang-layang yang diterbangkan oleh anaknya. Dia mengira akan mendapat keranjang kecil berisi makanan seperti biasa. Namun yang dilihatnya kali ini adalah jalinan panjang rumput tali dengan potongan rambut hitam. Angin mempermainkan layang-layang dan berputar-putar mengitari menara. Jio Sio yang berada di bawahnya memegang erat ujung tali.
Sang kaisar merapatkan badannya ke dinding menara dan berusaha menggapai jalinan tali itu. Setelah berhasil, ia melepaskan jalinan tali dari benang layang-layang. Kemudian sang kaisar mengikatkan salah satu ujung tali pada tiang besi yang kokoh di dekat jendela. Ujung yang lain terbentang ke bawah dalam genggaman tangan Jio.
Kaisar melangkah menuju ambang jendela dan meluncur pada tali. Jubahnya mengembang, seperti layang-layang. Ketika kakinya menyentuh tanah, ia berlutut pada anaknya yang mungil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Jio Sio hingga Jio hampir tenggelam dalam pelukan ayahnya.
Sang kaisar mengangkat putri mungilnya ke atas pundaknya dan membawanya kembali ke istana. Di istana, kaisar disambut meriah oleh rakyatnya. Orang-orang di negeri itu sudah bosan dengan tingkah para pengkhianat.
Dengan sekali perintah, para pengkhianat ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Ketiga kakak Jio Sio mendengar berita kembalinya kaisar ke istana. Mereka segera pulang untuk menyambut kedatangan Ayah mereka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat Jio Sio duduk di singgasana kecil mendampingi Ayah mereka.
Sampai akhir hayatnya, sang kaisar memerintah negeri itu didampingi oleh Jio Sio. Ketika kaisar mangkat, Jio Sio memerintah negeri itu dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. (Dari "The Emperor and the Kite", diceritakan kembali oleh Lestari Danardana)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2002
Short Storylanjutan dari Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001