Oleh Hadi Pranoto
Bobo Nomor 41 Tahun XXIX 10 Januari 2002
"Kebakaran! Kebakaran!" terdengar suara orang-orang berteriak kencang. Warga lain yang sedang tidur jadi terbangun. Pagi itu, tepat jam 03.00 WIB, terjadi kebakaran di kampung tempat Deni tinggal. Penyebabnya karena obat nyamuk yang terbakar di atas kasur Bu Ijah. Rumah Bu Ijah sekitar 10 rumah dari rumah Deni. Karena rumah penduduk di daerah itu banyak menggunakan bahan kayu dan letaknya saling berhimpitan, maka api menyebar cepat ke rumah di sebelahnya.
Deni tersentak kaget ketika dibangunkan ibunya. "Deni! Ayo bangun!" kata Ibu keras sambil mengguncang-guncang tubuh Deni.
"Ada apa, Bu?" tanya Deni panik.
"Kebakaran! Cepat bereskan pakaian dan barang-barang," kata Ibu lagi.
"Ayah mana, Bu?" tanya Deni. Ayah dan kakaknya memang tidak kelihatan.
"Mereka sedang ikut memadamkan api. Cepat bantu Ibu kemasi barang-barang kita!" jawab Ibu cemas, saat mendengar teriakan orang-orang bahwa apinya telah membesar.
Deni segera mengemasi seragam sekolah dan buku-bukunya.
"Deni, tunggu rumah, ya! Ibu mau taruh barang-barang ini di rumah Bu Marsudi!" seru Ibu. Rumah Bu Marsudi terletak di depan gang rumah Deni dan cukup aman karena berada di komplek.
"Iya, Bu!" jawab Deni lalu bergegas ke ruang tamu. Di situ tampak semua barang mereka sudah terbungkus kain dan siap diungsikan. Termasuk TV dan radio tape yang memang cukup berat, belum sempat dibawa Ibu untuk diungsikan.
Di tengah kepanikan orang-orang yang berlarian, tiba-tiba Deni dihampiri seorang pria separuh baya. Ia mengaku disuruh Ibu Deni untuk membawakan TV.
"Dik! Saya disuruh ibumu membawakan TV-nya," kata pria itu ramah.
"Lo! Memangnya Bapak ini siapa?" tanya Deni heran. Ia merasa tidak mengenal laki-laki itu.
"Saya petugas dari kelurahan, yang membantu orang-orang," kata laki-laki itu panik.
"Oh ... kalau begitu tunggu Ibu saya dulu, ya!" kata Deni bertambah curiga. Apalagi orang itu tidak berseragam seperti petugas kelurahan lain.
"Oh ... tidak perlu! Kalau tidak mau ditolong, ya sudah!" kata orang itu marah. Lalu ia pergi meninggalkan Deni yang tidak mengizinkan orang itu masuk.
Tidak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Mobil pemadam memang tidak dapat masuk, karena jalannya sempit. Namun api berhasil padam karena gotong-royong masyarakat. Mereka menggunakan air got dan peralatan sederhana. Wajah Deni cerah saat melihat ayah dan kakakknya kembali dengan badan basah kuyup dan kotor. Sambil menenteng ember yang mereka bawa dari rumah, Ayah bertanya, "Ke mana ibumu, Den?"
"Sedang pergi ke rumah Bu Marsudi, menyiapkan barang," jawab Deni.
Sesaat kemudian, Ibu kembali sambil menenteng kembali koper tadi.
"Bu! Tadi Ibu menyuruh seorang bapak untuk membawakan TV kita, ya?" tanya Deni.
"Ah, tidak!" seru Ibu cemas.
"Lalu, kamu bilang apa?" tanya Ayah ikut panik.
"Ya, Deni bilang, tunggu Ibu dulu. Eh, dia langsung pergi," jawab Deni.
"Oh ... syukurlah! Untung kamu hati-hati, Den," kata Ibu sambil mengusap kepala Deni.
"Pintar kamu, Den! Jangan sembarang percaya orang!" Ayah memuji.
Kemudian, terdengar suara panik dan menangis di luar. Mereka bergegas keluar. Ternyata orang tua Dewi kehilangan sepeda motor dan TV-nya. Rupanya bapak penipu tadi beralih ke rumah tetangga dekat Deni. Dengan alasan yang sama, ia berhasil membawa motor dan TV orang tua Dewi. Dan tangisan kencang itu ternyata tangisan Dewi yang dimarahi ibunya habis--habisan.
"Mengapa ada orang yang tega menipu orang yang sedang kesusahan ..." gumam Deni di dalam hati. Ia jadi kasihan melihat Dewi. Dan bersyukur karena ia tidak mudah percaya pada bapak tadi. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu tertarik membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2002
Historia Cortalanjutan dari Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001