Oleh: Kemala P.
Bobo Nomor 45 Tahun XXIX 7 Februari 2002
"Aduh!" keluh Mama kesal, sambil melirik arloji di tangannya, "Ucok pasti sudah bosan menunggu."
Sebelum berangkat tadi Mama tertahan oleh kedatangan Tante Pia, tetangga sebelah rumah. Tante Pia mengantar oleh-oleh dari Bandung.
"Oncom Bandung dan peuyeum," kata Tante Pia.
Terpaksa Mama mengajak Tante Pia masuk dulu. Mengobrol sebentar kemudian berkata, "Maaf, Bu Pia. Saya harus menjemput Ucok sekarang."
"Ooo, silakan," kata Tante Pia. Lalu buru-buru pamit, meskipun merasa belum puas mengobrol dengan Mama.
Nah, sekarang Mama tertahan lagi di lampu merah.
"Ucok pasti sudah gelisah," pikir Mama. Sekali lagi melirik arloji di tangannya. "Padahal ini hari pertama dia sekolah."
Untunglah lampu sudah berubah menjadi kuning. Lalu hijau. Mama cepat melarikan mobil.
Sementara itu, Ucok duduk di bangku semen di halaman sekolah. Ia merasa kesepian sebab halaman sekolah tampak sepi. Anak-anak yang lain sudah pulang semua. Tinggal Ucok sendirian di sana. Matanya terus menatap ke jalan, tanpa daya.
Sebetulnya tadi dia ditemani Bu Guru. Ketika melihat Ucok duduk sendirian, Bu Guru datang mendekati.
"Belum pulang, Cok?" tegur Bu Guru.
Ucok menggeleng sedih.
"Mama belum datang menjemput," sahutnya. Suaranya terdengar seperti hampir menangis.
Bu Guru menepuk bahunya dengan lembut. "Mungkin sebentar lagi mamamu datang. Bu Guru temani, ya?"
Ucok mengangguk. Lega rasanya ada yang menemani. Meskipun begitu matanya tak pernah lepas dari jalan. Mengapa lama sekali Mama datang?
Kriiing ... kriiing ... kriiing!
"Wah, ada telepon di kantor Bu Guru. Bu Guru ke dalam dulu, ya!" kata Bu Guru.
Ucok mengangguk sedih.
"Kalau mamamu belum datang, jangan meninggalkan tempat ini, ya!" pesan Bu Guru sebelum meninggalkannya.
Kembali Ucok mengangguk. Dengan patuh dia duduk di tempatnya. Meskipun sebenarnya dia ingin sekali meninggalkan bangku semen itu. Dia merasa bosan menunggu sendirian di sana.
Sementara itu, Mama membelokkan mobilnya ke Jalan Wangi. Dan menarik napas lega ketika melihat Ucok masih duduk di bangku semen di halaman sekolah.
Tet! Tet! Tet!
Mama membunyikan klakson. Lalu melambai ke arah Ucok. Waktu melihat mobil Mama, wajah Ucok menjadi ceria. Dia langsung turun dari bangku semen dengan girang.
"Mama! Kenapa lama sekali datangnya?!" serunya sambil masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Mama. "Aku kira Mama lupa."
Mama mengusap rambut Ucok lalu berkata sambil tersenyum, "Mana mungkin Mama lupa, sayang. Tadi sewaktu Mama mau menjemput kamu, Tante Pia datang mengantarkan oleh-oleh dari Bandung. Terpaksa Mama menemani Tante Pia dulu. Pasti kamu sudah bosan menunggu Mama, ya."
"Iya, Ma. Untung Bu Guru menemani Ucok."
"Bu Gurunya sekarang di mana?"
"Sedang menerima telepon di kantor," sahut Ucok.
"Kalau begitu Mama harus menemui Bu Guru dulu untuk mengucapkan terima kasih. Kamu duduk yang manis, ya. Mama tidak lama kok."
Setelah menemui Bu Guru, Mama kembali masuk ke mobil.
"Nah, sekarang ke mana, kita?" tanya Mama.
"Memangnya kenapa, Ma?" tanya Ucok heran.
"Maksud Mama, kamu sudah menunggu Mama dengan manis. Itu artinya kamu sudah berkelakuan baik hari ini. Jadi Mama akan memberi hadiah untuk kamu. Bagaimana kalau kita makan es krim? Mau?"
"Wah, asyiiik!" seru Ucok girang.
Mama tersenyum sambil mengerling ke Ucok. Ia senang melihat perubahan di wajah Ucok yang sedih beberapa saat lalu, kini telah menjadi ceria.
"Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Mama.
"Wah, asyik sekali, Ma," sahut Ucok senang. "Bu gurunya cantik seperti Mama. Bu Guru juga pintar mendongeng seperti Mama."
"Kedengarannya kamu suka sama bu gurumu itu, ya?"
"Tentu saja, Ma. Bu Guru kan baik."
Mama tersenyum lega. Hari ini hari pertama Ucok bersekolah. Kelihatannya Ucok sangat menikmati pengalamannya yang baru itu.
Malam harinya sebelum Ucok pergi tidur, Mama mengecup keningnya.
"Selamat tidur, sayang."
"Selamat malam, Ma," sahut Ucok sambil memejamkan matanya. Tapi waktu Mama menutup pintu kamar perlahan-lahan, terdengar suaranya.
"Ma!"
"Ya. Ada apa sayang?"
"Besok Mama tidak akan terlambat lagi kan?"
Mama tersenyum. "Tidak, sayang. Mama berjanji tidak akan terlambat lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2002
Contolanjutan dari Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001