16. Gia dan Kesempatan?

64 6 0
                                    

|What about me?

Bel pulang sekolah merupakan bunyi kebahagian siswa yang sepanjang hari penat dengan kegiatan belajar, para siswa mulai berbondong-bondong keluar dari kelas. Begitupun dengan Noah, biasanya dia orang terakhir yang akan meninggalkan kelas namun hari ini dia tengah menunggu giliran untuk dirinya keluar sedangkan ketiga temannya masih berada di bangku masing-masing tengah membereskan bukunya.

Hari ini seri wajah Noah terlihat sangat bahagia, dirinya terkikik. Setahun hubungannya dengan sang kekasih namun baru kali ini ia merasakan harinya yang tak bisa terlewatkan untuk melihat Nadiva, yang diinginkan Noah tiap harinya adalah berada disekitar cewek itu. Meskipun aksi Noah tersebut terbilang telat, setidaknya dia melakukan itu daripada tidak sama sekali. Dan dengan sengaja hari ini Noah membawa mobil karena dirinya berencana untuk membawa Nadiva jalan-jalan.

Belum sempat tubuhnya meninggalkan kelas sepenuhnya, tiba-tiba sebuah tangan meggamit lengannya. Noah melirik dan ternyata itu adalah Gia.

"Aku ikut kamu." Ucap Gia yang tidak menolehkan pandangannya sama sekali.

"Gak bisa, gue pulang sama Nadiva." Tolak Noah halus.

"Ya emang kenapa? Biasanya juga kamu suka anterin aku."

"Gi," Noah berhenti dan langsung di ikuti oleh Gia.

Menghela nafasnya, Gia menatap kedua netra Noah dalam, "Ada yang mau aku omongin sama kamu."

"Ngomong sekarang aja, gue dengerin." tawar Noah.

Gia menggeleng, dirinya keukeuh ingin Noah mengantarnya. "Gak mau! Kamu kenapa sih? Dulu kamu suka maksa aku buat pulang sama kamu, sekarang giliran aku yang mau kamu kenapa gini?"

Koridor yang tengah ia pijaki mulai terasa sesak dipenuhi orang yang mulai keluar dari kelasnya masing-masing, "Gi gue mohon, gue udah janji sama Nadiva."

"Kamu kemarin kemana?"

Noah menggaruk alisnya, Gia terlihat kacau hari ini. Wajah yang biasa bersinar cantik itu kini terlihat redup dengan lingkaran hitam berada dibawah matanya, namun dia tidak ingin pusing sekarang dan Gia mengajaknya berdebat.

"Gue udah bilang kan kalo gue ada urusan." Jawab Noah dengan suara yang sepelan mungkin disaat Gia tengah menggebu-gebu.

"Sepenting apa sih urusan kamu sampe gak bisa nemuin aku?!"

Noah terdiam, menunggu siswa yang lain keluar agar suasana menjadi sepi. "Lo bisa minta orang lain buat datang, gak selalu harus gue. Marshall pacar lo."

"Aku udah putus sama dia." Suara Gia melemah dengan pelupuk matanya yang sedikit berembun.

Noah menghela nafas, "Lo tunggu disini, gue anterin Nadiva dulu."

Lagi-lagi kepergian Noah di cegat oleh Gia, "Bareng aja."

Hingga akhirnya yang bisa Noah lakukan adalah mengangguk mengiyakan permintaan sahabatnya itu. Dan suasana di dalam mobil ini terasa canggung, Gia sengaja duduk di depan karena dirinya akan merasa cepat pusing jika harus duduk di belakang. Dengan segala pengertiannya Nadiva duduk di belakang, dirinya menyutujui hal ini karena Noah menjelaskan bahwa keadaan Gia sekarang sedang membutuhkannya. Meskipun ada sebagian hatinya yang tidak terima namun Nadiva harus berusaha mengerti karena bagaimanapun putus cinta merupakan fase terberat, dia juga tidak tega melihat penampilan Gia yang kacau tidak seperti biasanya.

Setelah menghabiskan beberapa menit perjalanan, mobil berhenti di depan rumah Nadiva. Cewek itu turun diikuti oleh Noah, keduanya berhenti lima langkah sebelum menuju pintu rumah.

"Dis, aku minta maaf," panggil Noah.

"Aku gak papa, kok, kamu hati-hati bawa mobilnya. Kak Gia lagi butuh orang buat dengerin dia." Tangannya di genggam sangat erat oleh Noah dan Nadiva tersenyum untuk memberitahunya bahwa ia baik-baik saja.

"Kamu mau sesuatu gak?" tanya Noah karena benar-benar merasa tidak enak pada Nadiva.

Nadiva tampak berfikir, "Pantai?"

Noah mengangguk kemudian tersenyum, "Minggu depan kita ke pantai, ya."

Noah membuka pintu mobilnya kemudian masuk diikuti dengan gerakan memakai seatbelt. Sebelum melajukan kembali kendaraannya, Noah melirik ke arah Gia yang sedari tadi hanya menunduk.

Tangannya terulur untuk mengusap kepala cewek itu sedikit menenangkannya, bagaimanapun Gia adalah sahabatnya dia tidak setega itu untuk meninggalkannya ketika kehadirannya sangat dibutuhkan oleh Gia.

Mobil melaju perlahan meninggalkan pekarangan rumah lalu setelahnya Noah mendengar isakan tangis yang tertahan dari Gia. Noah biarkan cewek tersebut untuk menikmati rasa sedihnya tanpa gangguan sedikitpun. Hingga mobil tersebut sudah sampai di halaman rumah Gia pun keduanya memutuskan untuk tidak keluar dulu.

Noah menatap nanar Gia yang sedari tadi menyembunyikan wajah dibalik kedua tangannya dengan isakan yang tak pernah lepas dari rungunya. Jujur, Noah merasa ikut sakit atas apa yang menimpa Gia sekarang, tanpa persetujuan Noah langsung menarik tubuh mungil itu kedalam dekapannya. Sangat erat sekaligus menyalurkan sebuah kekuatan yang langsung dibalas tak kalah erat dari sang empunya.

"Gak papa, nangis aja."

Mendapatkan elusan lembut di kepalanya serta dekapan hangat yang mengungkung tubuhnya, tangisan Gia yang tadinya mulai mereda kini kembali meluruh, meraung dalam dekap sang sahabat.

"Noah," lirih Gia, wajah sembabnya ia dongakkan untuk melihat Noah sepenuhnya.

"I am here," balas Noah yang sedari tadi tangannya sibuk mengusap surai hitam milik Gia.

"I love him so much, but he left me." Gia berucap dengan tersendat karena tangisan yang tidak mau berhenti.

"Ssst, you don't deserve the one thing that you lost, Gi."

"Aku harus apa Noah, Marshall ngasih pilihan yang sulit. Aku harus milih antara kamu atau dia."

Noah tersendat, "Gi, jangan bilang..."

Gia mengangguk, "Aku pilih kamu." Pelukan terlepas

"Gia, lo gila? Gue gak nyuruh buat milih gue."

"Semua orang ninggalin aku, cuman kamu yang nggak bakalan ninggalin aku kan."

"Noah? You don't wanna leave me, right?"

Pilihan yang sulit, kini Noah terjebak diantara cintanya untuk Gia atau Nadiva. Kenapa disaat dia telah memilih Nadiva, Gia datang menawarkan kesempatan padanya?

Klausa Asmara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang