|Sudah tau cuman dibercandain, kenapa masih berharap diseriusin?
"Ngapain jongkok disitu? Butuh sumbangan?"
Tidak, Noah tidak berani berucap seperti itu karena memang yang ada dihadapannya sekarang bukan cowok itu melainkan Nevan.Sekali lagi, Nevan.
Cowok dengan kaos hitam dan celana kesayangannya dengan tiga garis di kedua sisinya, membuka helm namun tidak beranjak dari motornya.
"Berdiri," titahnya.
Nadiva bergeming, tidak mendengarkan titah tersebut, dirinya menggeram kesal kenapa harus Nevan yang memergokinya!
"Lo pergi." Usir Nadiva yang kini memerhatikan jalanan.
Usiran tersebut tak ditanggapi apa-apa, kini Nevan turun dari motor dan langsung meraih Nadiva untuk membawanya bangkit yang kali ini tidak mendapatkan perlawanan apapun. Nevan telisik wajah sembab itu dengan sorot dingin tanpa ekspresi meskipun sebelah tangannya yang bebas sedari tadi mengepal dengan erat.
Nadiva sedari tadi menunduk tidak berani membalas tatapan Nevan, didengarnya deruan nafas yang berat dari cowok jangkung didepannya.
"Ayo, pergi sama gue."
Nevan sama sekali tidak berniat untuk menanyakan permasalahannya, lagipula dengan sekali lihat saja Nevan tau bahwa Nadiva hendak pergi namun tidak jadi.
"Gak mau!" Janjinya batal dengan Noah bukan berarti dia harus pergi dengan cowok lain.
Nevan berdecak, sebelah tangannya berkacak pinggang, "Pergi sama gue atau gue susul si Noah?"
Nadiva menatap Nevan dengan raut kesal, kemudian melirik motor gede milik Nevan.
"Gue gak mau naik motor!"
Nevan terkekeh geli, dengan gemas mengacak rambut Nadiva yang sudah rapih berakhir dengan lengannya yang dibabat habis oleh Nadiva.
"Banyak mau!"
Saat ini Nadiva sedang duduk dengan Nevan dibalik kemudi. Audi Q5 berwarna putih membelah jalanan sore yang mulai dipadati kendaraan lain karena akhir pekan. Sudah lima belas menit mereka hanya melaju tanpa tujuan. Nadiva enggan bersuara sejak tadi netranya fokus pada ruang obrolannya dengan Noah yang masih berharap kekasihnya itu memberinya kabar dan Nevan hanya meliriknya sesekali, hingga akhirnya cowok tersebut menghela nafas mencoba peruntungan untuk mengajak bicara Nadiva.
"Ini kita mau kemana?"
"Gak tau."
Kembali hening, Nevan secara acak mengusak rambutnya. Keningnya berkerut samar dengan bibir kembali terbuka untuk bersuara.
"Kapan putus sih, Nad?"
Nadiva tidak langsung menjawab melainkan melirik tajam ke arah Nevan. Bibirnya mengerucut dengan tangan yang mencubit lengan sang lawan.
"Tanya boleh, asal pake logika!"
Nevan meringis tatkala tangan tersebut tidak lepas dari lengannya. Dirinya mengaduh ampun supaya dilepaskan, dirinya berjanji tidak akan mengeluarkan sepatah katapun lagi dan tak lama tangan itu terlepas.
●●●●
Noah terduduk disebuah kursi menghadap pintu yang tertutup, kepalanya ia sandarkan ke tembok dengan mata terpejam. Keningnya mengerut merasakan pening menguasainya, tak lama pintu yang semula tertutup kini terbuka dengan sosok Gia bermata sembab keluar dari sana yang langsung menghambur ke pelukannya.
Lorong rumah sakit terlihat sepi, jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Noah selama dua jam berada ditempat ini, menemani Gia yang tadi menelponnya dengan tangisan dan mengatakan bahwa ibunya mengalami serangan jantung yang syukurnya sekarang telah ditangani dokter dan baik-baik saja. Noah panik, saking paniknya dirinya sampai membatalkan janjinya dengan Nadiva. Dan sedari tadi pikirannya tak luput dari kekhawatiran Nadiva akan kecewa padanya namun semoga saja gadisnya akan mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klausa Asmara [END]
Ficção AdolescenteNoah Alby hanya perlu tutup mulut untuk hal yang tidak seharusnya Nadiva Adisty-pacarnya, tahu. Sebuah pengkhiatan yang sudah ia lakukan sejak awal hubungannya yaitu mencintai perempuan lain. Kacaunya, Noah mencintai keduanya, tetapi tidak bisa mele...