Dibilang menyerah bukan, dibilang bersemangat juga bukan. Hidup lelah, mati pun takut. Selama lima belas menit Geo melamun dengan pikiran-pikiran memberatkannya.
Bertahan..bertahan..bertahan...
Seperti mantra yang ia rapal tiada henti dalam hatinya. Saat seorang pria dewasa membawanya ke rumah sakit dan menyuruh dokter mengobatinya di sebuah ruangan khusus.
Sedangkan Pria itu duduk santai sambil membaca sesuatu di handphonenya. Fisiknya tidak terlihat muda, mungkin sekitar 30an akhir tapi bertubuh tinggi tegap.
"Berhenti menilai saya, saya beneran orang yang ga ada niat jahat."Geo segera memutus pandangannya, merasa tidak sopan juga. Kemudian ia melirik ke jam di dinding yang sudah menunjukkan setengah satu pagi. Geo terbiasa pulang selarut ini.
"Kamu terlihat seperti kehilangan arah, benar ya habis dirampok?"
Geo menggelengkan kepala. "Aku memang kehilangan arah, tapi tidak dirampok."
Bisa Geo lihat, Pria itu sekarang memusatkan perhatiannya kepada Geo, menaruh handphonenya dengan cepat. "Dibully?kemana sepatu dan tas? Lebam itu? Kita bisa lapor polisi jika sekolahmu terbukti menutup kasus itu."
Yang dilakukan Zara itu, pembullyan atau bukan?
"Enggak! Bukan! Bukan begitu.."
"...ini cuma kecelakaan, hari yang sial. Ya mungkin sedikit gertakan, entahlah mungkin penculikan?lalu kabur.."
Pria itu seolah mencerna cerita dari Geo yang jelas tidak jelas. "Apa handphone mu juga tidak ada?"
"Tidak ada."
Pria itu akhirnya bangun dari duduknya. "Menginap saja di ruangan ini, jangan khawatirkan apapun. Besok pagi saya akan mengantar kamu pulang."
"Tapi..."
"Apa susahnya menurut?"
Pria itu langsung pergi dari sana. Meninggalkan Geo dengan perasaan takut dan tidak enak. Dia bersyukur ada seseorang yang membantunya namun satu hal yang membuatnya tenang adalah kembali ke rumah Nenek Alia. Geo mau tenang. Dan tempat ini semakin meresahkan dirinya.
Geo akhirnya berbaring menatap langit-langit ruang rawatnya. Sesekali melirik kedua telapak kakinya yang nampak banyak goresan, banyak plester. Satu nama yang ada dalam benaknya hanya satu... Dexter.
Geo langsung beranjak bangun, keluar dari ruangannya lalu berjalan mencari dimana meja resepsionis.
"Ada yang bisa dibantu kak?" Petugas resepsionis itu memindainya dari atas ke bawah. Mungkin paham kalau Geo salah satu yang habis dirawat.
"Aku..cuma mau pinjam teleponnya, apa boleh?"
"Oh tentu, jangan lama ya.."
Geo bersorak senang dalam hati, segera ia menekan rangkaian nomor itu. Lama, tidak ada respon, Geo sekarang takut Dexter akan mengabaikan nomor itu.
Sekali lagi ia coba telpon. Diangkat tapi tidak ada suara.
"Dexter! Ini gw!!"
"Geo...?sumpah ini geo?!"
"Iya! Dexter tolong gw.."
Suara Geo bergetar menahan sesak."Lu dimana Ge? Gw kesana.."
"Rumah sakit.." Geo celingak-celingukan mencari nama rumah sakitnya. Sampai melihat ke satu dinding nama rumah sakit.
"Rumah sakit Bimanita."
"Tungguin gw!"
Sambungan itu langsung ditutup oleh Dexter, Geo pun mengembalikan teleponnya dan mengucapkan Terimakasih ke Resepsionis. Meskipun jam segini, rumah sakit tetap terasa ramai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Enough
Teen FictionWarn : Ini mengandung beberapa adegan bromance/love platonic, Not BL. Jadi yg msh merasa kurang nyaman atau ga suka, silahkan tinggalkan. "Katanya Keluarga adalah kebahagiaan segalanya, katanya keluarga adalah tempat teraman, tempat berbagi suka ci...