3 Tahun Kemudian
Jakarta, Indonesia
"Kau tahu nak, aku bisa memberikan waktu tiga bulan lagi untukmu memikirkan kembali akan keputusan ini." Pria berumur lima puluh lima itu harus menghela nafas panjang dan menatap anak muda di depannya dengan tatapan sendu.
Pada sebuah berkas yang ia pegang yang baru saja diberikan oleh anak muda di depannya. Sebuah surat pengunduran diri sebagai Tukang penagih(pukul) dari bisnis peminjamannya. Pemuda itu yang kini sudah tumbuh semakin dewasa, semakin proporsional tubuhnya dan semakin menunjukkan sebarapa banyak perubahannya dalam tiga tahun ini.
Mungkin bagi sebagian orang tiga tahun adalah waktu yang sebentar namun bagi Dexter Marey ini adalah usaha terbaiknya untuk tetap bertahan hidup menunggu sesuatu.
"Kau tidak bisa menahan ku, Pak. Itu sesuai dengan surat perjanjian kerja ku. Hanya 3 tahun saja setelah itu aku bebas, terserah kau akan memberikan kompensasi atau tidak."
Pak John yang mempunyai bisnis ini sebenarnya sangatlah menyayangkan ia akan kehilangan orang paling berkompeten di tempat kerjanya ini. Baru kali ini dia mengenal seorang yang sangat lihai bermain fisik juga bermain otak.
Ya... Andai dia tahu Dexter memang bukan sesuatu yang biasa.
"Aku merasa... Hubungan kita sudah sangat dekat, nak. Kau tahu terkadang kita seperti bukan bos dan anak buahnya. Sangat terkesan bisa mengenalmu."
Dexter mengangguk, dia masih berdiri menunggu keputusan Pak John untuk pekerjaannya ini. "Aku anggap itu pujian terakhir dari mu. Kau memiliki banyak anak buah yang berkompeten."
"Dan sepertinya sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kan?" Pertanyaan retorik dari Pak John sendiri. Sebelum Pak John melepas Dexter, pria itu terhenti.
"Sebenarnya jika aku boleh bertanya, orangtua ini sangat penasaran apa alasanmu hanya meminta tiga tahun. Kau tahu aku memungut anak muda tanpa tujuan, tanpa rumah, tanpa uang, memperkerjakan mereka dan mereka semua sangat menyukai hidup bersamaku. Kau...kenapa?"
Dexter melipat tangannya di depan dada lantas berjalan kecil dan menghadap ke arah jendela yang menampakkan pemandangan gedung-gedung tinggi. Pak John sendiri sebenarnya sudah menebak dari awal, Dexter bukan kalangan bawah dilihat dari bagaimana caranya berpakaian saat pertama kali bertemu dan dari caranya menanggapi kehidupan mewah. Seperti familiar, seperti memang itu lah dulu makanannya sehari-hari.
Maka dari itu biarkanlah kini rasa penasarannya terjawab semua.
"Saat pertemuan pertama kita, saat itu aku adalah pemuda tanpa rumah dan uang. Aku memang kehilangan arah saat itu tapi aku tidak pernah mengatakan bahwa aku kehilangan tujuanku. Aku masih punya..."
"Tujuan seperti apa?" Langsung Pak John tanyakan.
"Memiliki pekerjaan dengan jabatan tinggi?atau tujuan seperti apa? Barangkali orangtua ini sanggup memenuhinya."
Sekilas fakta, Pak John mungkin adalah pebisnis pinjam uang yang masih memperkerjakan tukang pukul dan organisasinya sudah meluas kemana-mana tapi dibalik itu semua dia seperti selayaknya Bapak Tua yang melihat anak buahnya sebagai seorang anak sesungguhnya.
"Ini tujuan yang sederhana tapi sebenarnya cukup sulit. Aku cuma ingin memenuhi janjiku kepada seseorang. Aku ingin menemuinya dan berdiri di hadapannya sebagai seseorang dengan kehidupan yang biasa saja."
Yap, jawaban yang tak akan disangka Pak John akan keluar dari mulut seorang pemuda seperti Dexter.
"Siapakah orang itu?"
Dexter tersenyum melihat ke bawah kakinya.
"Aku lebih suka menyebutnya sebagai separuh diriku."
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Enough
Teen FictionWarn : Ini mengandung beberapa adegan bromance/love platonic, Not BL. Jadi yg msh merasa kurang nyaman atau ga suka, silahkan tinggalkan. "Katanya Keluarga adalah kebahagiaan segalanya, katanya keluarga adalah tempat teraman, tempat berbagi suka ci...