"Nih coklatnya." Jiorel menyerahkan satu cup hot chocolate yang baru saja ia pesan dari kafe di sekitaran sana kepada Geomara.
"Makasih." Geo menerimanya tapi tak segera meminumnya untuk sekedar menenangkan perasaannya. Jiorel juga cuma diam duduk disamping Geo memandang jalanan malam di depannya.
"Emang lebih baik ga usah datang kan?"
Geo tidak menjawab pertanyaan dari Jio, itu retoris jelas.
"Belum ada yang berubah." Kembali Jiorel menambahkan. Rasa kecewa dan lelah melihat keadaan keluarganya yang masih tetap sama.
"Justru malah Auri yang undang gue." Jiorel menoleh cepat dan menatap Geo meminta penjelasan. Geo menyesap sebentar minuman coklatnya itu. "Dia nelpon gue subuh-subuh buat pesenin penerbangan gua. Tanpa babibu langsung dia tembak semua, cerita semua tentang Gendis. Pagi itu gua kayak kena serangan jantung tapi tubuh gua juga kaku diatas ranjang ga bisa kemana-mana. Kayak sakit tapi sakitnya tuh ga berasa kayak udah kenyang juga sama perasaan ini."
Terlalu kelu lidah Geo untuk sekedar mengucapkan kata mati rasa untuk menggambarkan dirinya.
"Yang Auri tahu gua sayang sama Gendis, padahal gua benci banget sama dia. Dia selalu menang atas apapun, tapi anak yang dia kandung.. entahlah. Anak itu nantinya ga boleh tahu tentang permusuhan keluarga ini, kasihan kan kalau dia jadi sama kayak kita juga."
Angin malam sama-sama menghantam wajah mereka membuat rambut mereka beterbangan. Angin Jakarta mungkin tidak sedingin Michigan sana tapi kencang anginnya berhasil mengingatkan mereka bahwa tulang-tulang mereka pernah terasa sakit menahan dinginnya kota dengan segala permasalahan dalam kepala yang siap ingin meledak kapan saja.
Keadaan sama yang kembali mereka rasakan saat ini.
"Jujur Ge, kalau dipikir-pikir buat apa ya nilai-nilai yang mati-matian gua dapetin di sekolah kalau ujung-ujungnya perkara cari alasan buat tetap hidup aja gua ga tahu. Perkara bertahan hidup dibawah tekanan pontang-panting kita cari tahu. Kenapa sekolah ga ajarin itu ya?"
Geo tersenyum melanjutkan minumnya, terhibur sedikit hatinya dengan pertanyaan sarkas dari bilah bibir sepupunya. "Lu tanya gua, gua tanya siapa?"
Jio mengangkat bahunya dengan wajah masa bodoh. "Gatau, sama siapa kek, sama kucing jalanan mungkin?"
"Palingan si kucing jawab, itu urusan lu manusia, urusan gua cuma nyuri ikan di pasar atau mencari manusia baik yang mau nampung. Alias kalau cuma perkara makan sama tempat tinggal doang kucing bisa hidup juga kayaknya. Ga perlu dia pusing mikirin biaya rumah sama urusin asuransi jiwa kayak kita."
Jio tertawa kecil berganti sekarang hatinya yang tergelitik mendengar tuturan dari Geo. "Terus sekarang mau kemana?kita baru bisa pesen tiket besok. Ke hotel?"
Geo nampak berpikir sebelum akhirnya mencegah Jio membuka hp nya untuk memesan.
"Hubungin siapa lu?"
"Seseorang yang mau ngasih kita tempat nginep semalem gratis."
.
.
.
."GEO SUMPAH GUA KANGEN BANGET!!!"
Geo hampir terhuyung ke belakang saat Edvin memeluk tubuhnya beruntung ada Jio yang menahan di belakang. Edvin hampir-hampir menangis kalau saja ia tidak mengingat ada Jio juga disitu.
"Sama gue juga kangen sama lu, sama Nanden, Tirta juga."
"Iya ayo-ayo masuk udah malem."
Edvin mengarahkan mereka masuk ke dalam rumahnya yang terbilang mewah dan besar. Tadinya Edvin juga menawarkan makan malam tapi Geo menolak dengan halus, sudah hafal pastinya nanti Edvin akan membangunkan para pembantunya jadi dia hanya mau tidur saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Enough
Teen FictionWarn : Ini mengandung beberapa adegan bromance/love platonic, Not BL. Jadi yg msh merasa kurang nyaman atau ga suka, silahkan tinggalkan. "Katanya Keluarga adalah kebahagiaan segalanya, katanya keluarga adalah tempat teraman, tempat berbagi suka ci...