PROLOG

114 22 2
                                    


Happy Reading

Bulan purnama begitu indah di atas langit yang dihiasi oleh bintang-gemintang. Siapa yang tidak akan takjub dengan pemandangan indah yang disodorkan oleh sang pemilik alam semesta ini. Bintang-gemintang yang saling berlomba-lomba menampakkan sinarnya. Dan bulan purnama yang bercahaya--berkali-kali lipat dengan para gemintang itu--tampak sempurna ketika di pandang dari bawah sini.

Namun, kendati indahnya pancaran sinar purnama dan para gemintang tak cukup mampu menerbitkan senyum dari bibir sosok gadis bernama Sabit-sosok gadis yang tengah duduk dikursi alun-alun jalan malioboro.

Sabit memang menatap ke atas sana. Tapi tatapannya begitu kosong dan hambar. Sorot matanya begitu sayu. Senyum juga tak terukir dari bibir indahnya. Beberapa kali juga, ia kerap menghembuskan napasnya. Seolah-olah beban pikirannya tak mampu hilang dengan helaan napas yang keluar dari mulutnya.

Gitar yang sedari tadi bersanding di sampingnya tak cukup mampu menghibur suasana hatinya. Yah, ia merasa hari ini adalah hari yang cukup berat. Dimana ia harus dengan suka rela, oh tidak, dia jelas tidak suka rela ketika ia harus berhenti dari pekerjaan yang ia sukai. Bukan tanpa alasan, jelas semua ada alasannya.

Sabit menoleh ke samping. Hanya untuk melihat gitar dan beberapa tumpukkan berkas dari kantornya untuk ia bawa pulang. Ternyata, keputusannya untuk merantau dalam hal mengais pundi-pundi uang tetap saja tidak berhasil. Lagi-lagi ia harus menerima fakta bahwa ia dipecat.

Lagian, jika di pikirkan ia tidak begitu bodoh. Ia mahir dalam hal musik. Ia juga mahir dalam beberapa bidang lainnya. Jadi apa yang membuat kantor-kantor sialan untuk memecatnya?

Lagi-lagi hanya helaan napasnya yang mampu menjawab semua pertanyaan yang bersarang di otaknya.

Tak terasa, sudah satu jam ia duduk termenung di bangku panjang alun-alun jalan maliobro. Melirik barang-barangnya yang cukup banyak dan bertumpuk, Gadis itu menghela napasnya banyak-banyak. Semoga ia kuat membawa beban hidup ini.

dengan sangat kesusahan, ia membawa gitar dalam gendongannya dan beberapa berkas yang menumpuk dalam pelukkannya. Berjalan lurus menuju kosan tempat ia tinggal.

Saat memutuskan untuk berjalan, ia benar-benar kesulitan akibat beban bawaanya begitu berat. Hingga ia limbung-ketika sosok pria dengan kemeja berwarna putih dan celana jeans panjang menyenggolnya-membuat berkas-berkas itu berjatuhan di trotoar.

Mata Sabit langsung mencari si penabrak. Ketika ia menemukkannya, ia langsung menatap tajam pria itu.

"Mas kalau jalan hati-hati, dong! Masnya gak lihat bawaan saya banyak banget begini?!" gadis itu menunjuk berkas-berkasnya yang berserakan di trotoar jalanan. Ayolah, ia sudah lelah menghadapi dunia. Tenaganya sudah terkuras habis.

"Sorry-Sorry," pria itu tampaknya merasa bersalah.

"Sorry doang gak cukup, Mas!" Sabit kian emosi. Tampaknya, ia tengah meluapkan kekesalannya pada pria yang tidak berpotensi apapun dalam hidupnya itu.

Merasa semakin bersalah, pria itu langsung bergerak cepat untuk membereskan berkas-berkas yang berserakkan itu akibat ulahnya. ia Tak ingin membuat gadis yang tak sengaja ia tabrak itu semakin marah-marah tidak jelas padanya. Nanti orang-orang mengira mereka adalah pasangan yang sedang berantem lagi.

"Udahlah, gak usah! Saya bisa sendiri," Sabit langsung merampas berkas yang sebelumnya ada di tangan pria itu. Ia mengutip berkas-berkasnya dengan perasaan kesal. Dengan begitu saja, sabit sudah berlalu pergi meninggalkan pria itu dengan tatapan tajam andalan miliknya.

Pria itu menatap kepergian Sabit dengan tampang cengo. Bisa-bisanya di malam yang harusnya bahagia ini ia di pertemukan dengan gadis tidak jelas seperti dia. Pria itu lantas menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan jalannya yang sempat terhenti karena kejadian yang diluar dari prediksinya.

Langit Sabit (KUN) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang