Happy Reading
Siang ini, Sabit sudah berdiri di depan pintu Café yang selama 5 bulan terakhir memberinya penghasilan dan pengalaman manggung yang sangat luar biasa. Sabit senang berada di sini. Kenal dengan beberapa pelanggan setianya Mas Sean dan Sabit menyukai segala hal yang ada di dalam Café ini.
Sebelum masuk, gadis itu beberapa kali menghembuskan napasnya untuk meyakinkan diri dan memantapkan diri, setelah dirasa sudah lebih tenang, gadis dengan kemeja berwarna putih dan celana highwast berwarna denim pun melangkah maju untuk masuk ke dalam Café.
Ketika Sabit berhasil masuk, ia langsung di sambut begitu ramah oleh barista Café yang sudah sangat Sabit kenal.
"Eh, Sabit, tumben datengnya siang-siang. Emang ada jadwal manggung siang-siang begini?" namanya adalah Beno. Dia sendiri pun bingung dengan apa yang barusan ia tanyakkan kepada Sabit hingga membuat Sabit terkekeh pelan.
"Nggak pernah ada jadwal manggung siang-siang, Ben." selorohnya terkekeh kecil.
"Lah, terus?" Beno kembali bertanya. Pria yang mengenakan kaos hitam polos itu terlihat kebingungan dengan kehadiran Sabit di siang hari ini.
"Mau ketemu Mas Sean, ada urusan. Mas Seannya ada?"
"Baru aja sampe, tuh di ruangannya." Beno menunjuk ruangan Bosnya yang tak jauh dari sana. Sabit mengangguk mengerti dan langsung permisi kepada Beno untuk langsung menemui Mas Sean.
Sabit mengetuk pintu itu terlebih dahulu sebelum membukanya dan masuk ke dalam ruangan itu. Sean yang terlihat sedang santai sembari membaca beberapa rekap laporan bulanan Café terkejut ketika Sabit datang menemuinya hari ini.
"Eh, Sabit," ujarnya yang langsung menutup rekap laporan yang ada di tangannya.
"Mas," sapanya dengan senyum yang terlihat canggung.
"Duduk, Bit. Tumben banget datang siang-siang begini," Ungkap Sean yang memang situasi seperti ini sangat amat jarang ia temui. Sabit pun mengangguk sembari duduk di Sofa cream yang ada di ruangan Sean.
"Mau kopi?" tawar Sean yang langsung mendapat gelengan dari Sabit.
"Gak usah, Mas. Aku sebentar aja kok," Ujarnya menolak dengan sangat halus. Sean pun hanya mengangguk sebagai respon.
"Ada yang mau aku sampaikan sama, Mas Sean, terkait kontrak kerja kita, Mas,"
Sean sedikit mengerutkan keningnya. "Masih ada setahun, Kan? Atau kamu mau memperbaharui kontrak?"
"Bukan memperbaharui tapi memutus kontraknya, Mas," suara Sabit kian mengecil karena takut Sean akan marah padanya.
Dan benar dugaannya. Pria itu terlihat terdiam beberapa menit hingga akhirnya menghembuskan napasnya secara kasar. Sabit meringis melihat bagaimana ekspresi wajah Sean saat ini.
"Karena masalah kamu sama Langit?"
Sepertinya tebakkan Sean benar. Karena saat ini Sabit tak mengatakan apa-apa selain diam membisu di tempat gadis itu duduk.
"Aku mau pergi, Mas. Ada hal yang harus aku lakukan, tapi bukan di sini. Itu makanya aku mau memutuskan kontrak kerja kita," Ungkapnya membuat Sean semakin tidak mengerti dengan apa yang gadis itu maksud.
"Aku minta maaf, Mas. Karena nggak professional—"
"Nggak, aku paham, kok. Tenang aja. Yah, sedikit banyaknya Gina udah cerita ke aku. Tapi Gina gak cerita kemana kamu akan pergi dan apa yang akan kamu lakukan." Sela pria itu tidak ingin membuat Sabit merasa terbebani dan merasa bersalah jika ia menganggap gadis itu tidak professional dalam bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Sabit (KUN) End
Romancesebuah Rasa yang tak seharusnya ter-asah. Cover by : pinterest