BAGIAN 38 12. 878 km

19 5 0
                                    


Happy Reading

Tepat sehari setelah hubungannya dengan Almyra benar-benar usai, sinilah Langit berada—dilobby kantor tempat Almyra bekerja bersama dengan Gina yang duduk menghadapnya.

Gina terus-terusan memandang laki-laki di depannya dengan penuh sarkatisme. Membuat Langit begitu gugup hanya untuk sekedar bertanya dimana Sabit berada.

Almyra yang dari kejauhan melihat mereka berdua hanya duduk diam tanpa adanya interaksi pun memutuskan untuk berjalan menghampiri mereka berdua. Sudah 15 menit berlalu tanpa adanya obrolan di antaranya keduanya—sejak Langit mengantarkannya ke kantor untuk sekalian bertemu dengan Gina.

Almyra menepuk pundak Gina dan membuat Gina sontak melihat ke arah gadis itu. anggukkan kepala dari Almyra akhirnya membuat Gina mengalah dengan egonya yang masih begitu marah terhadap pria dihadapannya ini.

“Sabit ada di Kanada,” putus Gina memberitahu dengan ekspresi wajah paling datar yang ia tampilkan.

Langit terkejut. Pupil matanya membesar ketika mendengar kata Kanada yang Gina ucapkan. Sejauh itu kah jaraknya dengan Sabit saat ini. Dan sesakit itu kah perasaan gadis itu sampai memilih pergi begitu jauh darinya.

“Tepat sehari setelah Almyra memperkenalkan dirinya sebagai pacar lo. Sabit langsung memutuskan untuk pergi. Tapi dia tahan semua itu sebelum dia tahu perasaan dia buat lo berbalas atau malah sebeliknya. Dan ternyata, perasaan dia gak berbalas. Dan tepat tiga hari setelahnya Sabit memutuskan pergi ke Kanada.”

Alis Langit saling bertautan. Dia tidak tahu bahwa Sabit sudah pergi begitu lama. Jadi selama sebulan Langit menghindari gadis itu, malah justru gadis yang ia hindari tak lagi ada di Bali. Lantas apa yang tengah Langit hindari sebenarnya? Padahal gadis yang ia coba hindari tak lagi ada di sini. Langit merasa benar-benar bodoh.

“Kenapa harus Kanada?” tanyanya dengan nada yang begitu pelan.

Gina mulai menceritkan keadaan pada malam dimana Sabit mengetahui lelaki yang selalu bersamanya itu ternyata menyembunyikan fakta bahwa ia sudah memiliki pacar.

“Gue tahu, Gin, gue salah karena harus menaruh perasaan gue untuk laki-laki yang udah punya pacar. Tapi kan posisinya gue gak tahu kalau Langit udah punya pacar. Terus lo mau gue gimana? Menekan habis perasaan gue buat dia? Gak bisa segampang itu, Gin.” Malam itu, ditengah gemuruh hujan ia seolah terus-menurus mencari pembelaan akan rasa cintanya terhadap Langit dan Gina paham akan hal itu.

“Cinta memang bukan hal yang bisa kita prediksi kemana dan kapan ia akan datang, Bit. Tapi diri lo… bisa. Lo bisa memutuskan untuk terus menjalankan cinta lo yang salah itu atau beranjak pergi dan memulihkan hati lo lagi.”

Penuturan dari Gina membuat Sabit terdiam. Yah, Sabit memiliki pilihan atas rasa cintanya. Dan sebagai seorang wanita yang bisa merasakan sakitnya akan pengkhiatan cinta—harusnya Sabit sadar bahwa tak kan pernah ada harapan untuk cintanya yang kali ini. Apalagi ketika hubungan yang Langit dan dirinya jalankan sama sekali tidak memiliki hubungan spesial apa-apa. Hanya hubungan sebagai teman? Mungkin. Itulah yang Sabit pikirkan.

Sabit terdiam cukup lama hanya untuk kembali memutar-mutar ucapan Gina barusan di dalam kepalanya.

Sabit menatap kearah Gina, “Pesenin gue tiket,” Ucapnya hanya untuk membuat Gina mengerutkan keningnya.

“Tiket? Kemana?” Gina jelas bingung. Gadis ini sedari tadi diam dan tiba-tiba memintanya untuk memesakan tiket. Kemana gadis ini akan pergi?

“Kanada. Pesankan gue tiket untuk terbang ke sana,” Ujar Sabit lebih memperjalas.

Langit Sabit (KUN) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang