Happy Reading
Dalam langkahnya menuju kamar apartemen miliknya, bibir Sabit tak henti-hentinya tersenyum. Otaknya kini sedang memikirkan hal yang terjadi antara dirinya dengan Langit di kursi belakang Café. Ucapan Langit kepadanya beberapa menit lalu masih menempel diotaknya dengan sangat jelas.
"Sedih itu tidak boleh berlarut-larut, Sabit. Silahkan bersedih hati, tapi jangan lupa untuk kembali bahagia. Jangan mengurung diri kamu dengan lautan kesedihan. Biarkan dirimu juga merasakan apa yang harusnya diri kamu rasakan."
Sabit tersenyum ketika ingatan itu kembali melintas dengan cukup jelas di otaknya. Apalagi ketika otaknya merekam dengan sangat jelas bagaimana cara Langit menyampaikan hal itu.
Sabit berhenti sejenak. Tubuhnya ia sandarkan di dinding. Entah mengapa, otaknya sekarang sedang dikuasi oleh sosok laki-laki bernama Langit. Siapa laki-laki itu? bisa-bisanya dia bisa dengan mudah memahami Sabit. Dan... mengapa ia bisa membuat Sabit begitu mempercayakan dirinya terhadap pria itu? dan satu hal lagi, Bersama Langit, Sabit seperti menemukan kembali cahaya kehidupannya.
Maka sebelum melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam kamar apartemennya. Bibir Sabit tersenyum kecil. Dalam batinya berdoa agar sekiranya perasaannya terhadap Langit bisa lebih nyata. Agar sekiranya Tuhan mau mengizinkan Sabit menjalani kehidupannya lebih lama bersama Langit.
Ketika gagang pintu berhasil terbuka dan Sabit sudah berhasil masuk ke dalam apartemen, Sabit mendengar suara grasak-grusuk dari arah kamar Gina. Sedikit menautkan kedua alisnya, Sabit pun memutuskan untuk melangkah menghampiri suara bising-bising itu. ketika Sabit belum sepenuhnya sampai, Gina sudah terlebih dahulu membuka kamarnya dengan membawa 2 koper besar miliknya. Dahi Sabit kembali dibuat mengerut. Heran dengan maksud 2 koper itu. Lantas, ia segera menghampiri kamar Gina.
"Gin," Panggilnya yang membuat Gina terjingkat kaget. Gadis itu mengelus dadanya, ketika mendapati jantungnya masih berdetak Gina menghembuskan napas lega.
"Lo mau kemana?" Sabit berjalan semakin mendekat. Menatap heran beberapa barang-barang yang gadis itu masukkan ke dalam ransel.
"Nih, koper kenapa lo bawa keluar," Sabit kembali bersuara.
Gina tetap diam sampai ia selesai membereskan barang-barang miliknya. Barulah saat itu membalikkan badannya ia tersenyum dan menyentuh kedua pundak Sabit.
"Gue mau pindah, gue bakal tinggal sama, Sean," Ujarnya membuat Sabit menepiskan tangan Gina dari kedua pundaknya.
"Gue tahu lo bakal kaget, tapi gue udah obrolin ini sama, Sean. Dan lo tenang aja, apartemen ini bakalan tetap gue bayar kok cicilannya."
Sabit menggeleng tidak habis pikir. Bukan itu yang menjadi permasalahannya. Masalahnya, Ia sudah terlampau lama tinggal bersama gadis itu. dan bagaimana bisa tiba-tiba Gina pergi meninggalkannya. Disini, sendirian.
"Kok lo tega, sih, ninggalin gue sendiri, di sini," Sabit menatap sekeliling apartemen ini dengan tatapan takut.
"Gue janji, gue bakal sering nginep disini kalau weekand," Gina membentuk jari telunjuk dan jari tengahnya hingga membentuk huruf V, sebagai janji bahwa ia tidak berbohong dengan ucapannya.
"Masalahnya gue kan belum pernah lo tinggal sendiri, Gin," rengek Sabit. Berharap bahwa Gina akan luluh dan tidak jadi pergi meninggalkannya.
"Sean butuh gue, Bit. Cowok itu suka gak inget gue kalo udah sibuk sama kerjaannya. Makanya gue mau tinggal di sana biar dia tetap inget pulang, biar dia tetap inget gue." Ada dengusan kesal ketika gadis itu selesai berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Sabit (KUN) End
Romancesebuah Rasa yang tak seharusnya ter-asah. Cover by : pinterest