Part 7 - Kesal

13.2K 1.6K 46
                                    

"Lo..." Belum selesai perkataan Sagara, Mauri memukul lengannya tidak henti membuatnya mengaduh sakit. Bahkan kini wanita itu menggunakan sebelah sepatunya. "Mauri!!" teriaknya mencoba menghindari Mauri, tapi tetap saja Mauri memukul badannya

"Bang Saga nyebelin!" Sagara dengan cepat menahan kedua tangan Mauri dan melotot agar Mauri tak ribut.

"Jangan teriak-teriak!" desisnya pelan memeluk Mauri agar tak mengamuk. Dalam dekapannya wanita itu meronta.

"Bang Saga jahat!!" Kegaduhan tersebut mengundang orang tua Mauri keluar dari rumah, begitupun orang tuanya. Mereka berempat mengernyit melihat tingkah keduanya.

"Saga! Mauri! Apa-apaan ini?!" Suara Malvin membuat mereka berhenti. Tapi, Mauri tetap memukul Sagara menggunakan sepatunya satu kali ke lengan pria itu yang membuat orang-orang terkejut.

"Kalian kenapa sih?!" Kini Sadam yang bersuara menatap keduanya secara bergantian.

"Lebih baik kita ngobrol di dalam rumah," ajak Veya. Auri pun mengangguk. Mereka pun masuk ke rumah Malvin dan Auri. Para orang tua duduk sementara Sagara dan Mauri berdiri di hadapan mereka.

"Kalian kenapa berantem?" Malvin bertanya pada dua orang itu.

"Kami gak berantem kok, Om." Sagara menggeleng. "Mauri yang tiba-tiba mukul aku."

"Aku mukul Bang Saga karena Bang Saga bawa kabur gelatoku!!" Pekik Mauri kesal. Sagara dengan cepat menoleh menatap Mauri. Tercengang.

Jadi, Mauri marah bukan karena ia meninggalkan wanita itu, tapi karena ia yang membawa gelato wanita itu?

Mauri kembali menatap para orang tua dengan raut dramatis. "Padahal aku baru tiga kali cicip gelatonya. Tapi, Bang Saga udah bawa kabur gelatoku!" Kembali menatap Sagara yang masih tercengang. "Bang Saga jahat!!" Lalu berlari naik ke kamarnya.

Yang pertama bereaksi adalah Sadam. Pria paruh baya itu tertawa, menertawakan anaknya. Veya langsung menegur Sadam, mengajak suaminya itu pulang. Sebelum mereka beranjak pulang, Sadam lebih dulu berujar pada Malvin. "Sidang aja si Saga, Dok. Kami pamit dulu."

"Ayah! Bunda!" Panggil Sagara, orang tuanya meninggalkan dirinya. Sagara tak bisa apa-apa. Berdiri kaku di hadapan orang tua Mauri.

"Kalian bukan lagi anak kecil." Hanya itu yang Om Malvin ucapkan. Sagara tersenyum kikuk.

"Kamu tau sendiri kan, Mauri tuh kayak gimana orangnya. Masalah kecil aja dia bakal dramatis banget. Udah, gak pa-pa. Kami paham kok," sahut Tante Auri membuat Sagara sedikit merasa lega. Tapi, tetap saja ia meminta maaf.

"Maafin aku, Om, Tante. Bukan maksud aku ninggalin Mauri...."

"Jadi kamu ninggalin Mauri!" sela Om Malvin tajam. "Tadi, sebelum kalian pergi, kamu minta ijin ke saya buat nemenin dia. Tapi..."

"Nah ini nih. Buah yang jatuh gak bakal jauh dari pohonnya!" Sela Tante Auri. "Jangan dramatis!"

Om Malvin mendengus malas.

Sagara pun kembali berujar, "Kalau begitu, aku mau minta maaf..."

"Besok saja!" Sagara pun pamit pulang seraya mengangguk. Tante Auri mengantarnya sampai depan pintu.

"Mau dianterin sampai rumahmu, gak?" Mendengar pertanyaan Tante Auri membuat Sagara tertawa pelan. Mengingat waktu masih kecil, jika ia bermain sampai malam di rumah tersebut, maka Tante Auri atau Om Malvin akan menemaninya pulang. Padahal rumah mereka hanya berseberangan. "Kalau kamu mau dimaafin Mauri, beliin dia aja gelato lagi. Kalau bisa beliin semua rasanya."

"Makasih sarannya Tante. Kalau begitu aku pulang dulu."

▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎

Mauri menguap seraya keluar dari kamarnya. Menuruni tangga, melangkah menuju ke arah dapur. Meraih segelas susu yang hendak Mommy raih membuat Mommy menjitak kepalanya. Mauri merengek, tapi kemudian meneguk susu tersebut hingga tandas.

MleyotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang