"Argh!" Sagara berseru karena terkejut setelah menyalakan lampu apartemennya, tiba-tiba saja melihat Mauri yang kini duduk di sofa yang ada di ruang tengah unitnya tersebut. "Kok gak bilang mau dateng?"
Tak perlu bertanya kenapa Mauri bisa masuk ke sini, karena memang Mauri memiliki akses.
Yang membuatnya heran, karena ekspresi Mauri yang datar, tangan terlipat di depan dada.
"Kamu kenapa?" tanyanya lagi seraya menaruh tas ranselnya di sofa single, mendekati Mauri. Duduk di sebelah Mauri dan memeluknya meski Mauri berusaha dilepaskan, tapi ia tetap mempertahankan pelukannya. Bahkan mulai memberikan kecupan di pipi Mauri. Beberapa kali hingga menimbulkan suara kecupan.
"Iih lepasin!" Mauri meronta dan berhasil lepas dari Sagara. Menatap sinis Sagara.
"Kamu kenapa sih?" Sagara mengernyit bingung.
"Enggak pa-pa." Mauri membuang pandangannya, kembali melipat tangan di dada.
"Oh ya udah. Aku mandi dulu ..."
"Dasar gak peka!" seru Mauri kesal membuat Sagara mengurungkan niatnya untuk berdiri.
"Apa?"
Rasanya Mauri ingin melempar Sagara menggunakan bantal melihat ekspresi lugu pria itu.
"Kenapa Mas Saga gak ngasih tau aku ..."
"Ah itu ..." Sagara tiba-tiba mendapat pencerahan, bisa menebak apa yang membuat Mauri terlihat marah. Hendak menjelaskan, tapi Mauri menyelanya.
"Kalau aku gak nanya, pasti Mas gak ngasih tau kan?"
"Bukan gitu, Sayang," Sagara berujar dengan lembut, hendak meraih tangan Mauri, tapi Mauri menghindar, bahkan menggeser duduknya menjauh. Sagara mendekat lagi dan Mauri menjauh. Begitu terus hingga Mauri terperangkap di lengan sofa.
"Dengerin aku dulu ..."
"Enggak." Mauri mendorong Sagara, kemudian berdiri.
"Siapa yang ngasih tau kamu? Pasti dia cuma ngomong kalau Genie datang ke ruang praktekku."
"Iya. Kenapa ketemuannya gak di restoran atau enggak tempat lain? Kamu tau kan kalau di rumah sakit itu aku punya banyak mata-mata!"
Sebenarnya Sagara ingin tertawa melihat ekspresi marah Mauri yang begitu menggemaskan di matanya saat ini, apalagi mata sipitnya yang dibulatkan seakan ingin menakutinya.
"Dengerin aku dulu, sini," ujar Sagara lembut seraya meraih lengan Mauri, menarik Mauri agar duduk kembali. "Genie datang buat berobat ..."
"Berobat apa?! Dia alergi atau ke-kelaminnya ..." Mata sipit Mauri kembali melotot.
"Kelaminnya ..."
"Astaga kamu lihat kelaminnya Kak Genie!" Mauri kembali berdiri.
"Eh enggak, dengerin aku ..." Mauri memberikan pukulan bertubi-tubi ke badan Sagara. "Mauri!" seru Sagara tertahan. Mauri berhenti memukul Sagara. "Dengerin aku dulu."
Mauri tidak mengacuhkan Sagara, hendak berlalu, tapi ia ditahan. Sagara memeluknya dari belakang. Meski mencoba meronta, tapi ia tak bisa terlepas.
"Tadi aku gak periksa Genie. Kami cuma ngobrol dan aku rekomendasiin ke dokter kelamin yang lain, yang perempuan." Mauri menolehkan kepala hingga bertemu pandang dengan Sagara. "Beneran Sayang, kamu percaya sama aku. Atau kalau kamu gak percaya, kamu tanya Sus Melin, dia tadi ada kok pas aku ngobrol sama Genie."
Mauri melepaskan pelukan Sagara. Memutar badannya hingga berhadapan dengan Sagara. Melipat tangannya di dada. "Kok Kak Genie datang ke kamu, padahal banyak dokter kelamin perumpuan lainnya? Apalagi kamu kan mantannya dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mleyot
Romance'Mleyot bermakna menyukai sesuatu dengan sangat dan sampai-sampai membuatnya lemas hingga tidak bisa berkata-kata lagi.' Ini ceritanya Mauri, anak gadisnya Malvin dan Auri. Mauri yang kebelet nikah karena iri dengan dua kakak serta teman-temannya. T...