Part 14 - Main Tenis

11.4K 1.4K 56
                                    

Wajah Mauri merengut sedari tadi karena mendengar omelan Daddy. Daddy memang pendiam, tapi kalau marah bisa juga mengomel, apalagi jika menyangkut 'anak kesayangannya'. Padahal Pretty tak lecet sama sekali, bahkan sudah diberi makan oleh Dayyan, tapi tetap saja ia dimarahi.

Mauri menjadi sedih, kakinya keseleo. Posisinya anak kesayangan benar-benari digeser oleh Pretty. Si kuncil centil yang menatapnya pongah. Itu di mata Mauri, membuat Mauri memicing tajam pada kucing centil itu. Bahkan dengan sengaja Pretty mendusel manja di pangkuan Daddy.

"Atau jangan-jangan kamu beneran berniat buang Pretty?" Tuduhan Daddy membuat Mauri menegakkan kepala, menatap malas Daddy yang memicing curiga padanya.

"Sebenarnya gak ada niatku buat buang Pretty, tapi kalau Daddy masih aja gak bersikap adil ke aku dan Pretty, malah meanaktirikan aku, aku bakalan bener-bener buang 'anak kesayangan' Daddy itu!" ujar Mauri kesal.

"Jangan berani-berani kamu!" Mata Daddy berkilat tajam seraya memeluk Pretty. Pretty merengut sedih dengan mata bulatnya yang berkaca-kaca seakan paham perkataan Mauri. Mengeong sedih, merasa paling tersakiti membuat Daddy mengusap kepalanya dengan lembut dan diberi kata penenang.

"Daddy, kakiku keseleo!"

"Ya terus?"

"Daddy!" Mauri merengek. Benar-benar iri pada Pretty!

"Kena azab lo. Pasti dari kecentilan di taman tadi. Ngaku aja lo?" Zian yang baru bergabung langsung saja membuat Mauri naik pitam.

"Pretty tuh kecentilan!" Pretty langsung mengeong keras seakan protes pada tuduhan Mauri.

Mauri kembali menatap Daddy dengan pandangan sungguh-sungguh. "Asal Daddy tau. Pretty tuh tadi main sama kucing jantan!"

"Apa?!" Daddy menatap Pretty yang semakin mendusel padanya seakan membujuk Daddy. Kembali memasang ekspresi memelas khas kucing serta mengeong manja.

"Jangan termakan rayuan dia! Aku lihat pake kepala mataku sendiri, Pretty kecentilan sama kucing jantan, bahkan tadi dia manja-manja lho Dad."

Pretty yang difitnah mengeong lagi, bahkan kini menatap tajam Mauri yang tersenyum senang.

"Nah pasti tadi Pretty keluyuran mau nyari rumah kucing jantan itu!" Tuduhan demi tuduhan Mauri pada Pretty dilayangkan terus menerus.

"Sudah, sudah," sahut Daddy seraya menghela nafas kasar. Lalu berdiri, menggendong Pretty. "Kamu gak boleh jalan-jalan lagi dengan Kakakmu, dia bawa pengaruh buruk buat kamu!" katanya pada Pretty membuat Mauri melongo. Daddy pergi begitu saja. Zian tertawa ngakak bahkan guling-guling di atas karpet.

"Sungguh teganya dirimu, Ayahanda!!" teriak Mauri dramatis. Daddy tidak mengacuhkannya. Saat Mommy lewat, Mauri memanggil Mommy dengan nada merengek. "Mommy!"

"Jangan dulu, Dek. Mommy lagi pusing nih, kayaknya kolestrol Mommy kambuh." Mommy melengos ke kamar.

Zian masih saja ngakak membuat Mauri melempar bantal sofa pada kakaknya itu. Kalau saja kaki Mauri tak keseleo, sudah pasti Mauri melompat ke arah Zian dan mengajaknya bergulat.

"Mbak Dinah, tolong bawa daku pergi dari sini!" teriak Mauri pada salah satu ART yang ia lihat. Wanita paruh baya tersebut langsung menghampiri dan menuntunnya.

"Mbak Mauri mau ke mana?"

"Ke teras depan aja, Mbak. Aku butuh udara segar." Mauri menarik nafas dramatis. "Karena di sini penuh dengan rasa sesak."

Mbak Dinah sudah biasa dengan tingkah anak majikannya tersebut. Segera membawa Mauri untuk duduk di luar teras. Bertanya, apakah Mauri butuh sesuatu, tapi Mauri menggeleng, menyuruhnya untuk istirahat saja.

MleyotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang