Part 12 - Red Flag

11.9K 1.4K 55
                                    

Mauri melangkahkan kakinya menelusuri lorong rumah sakit, ingin ke poliklinik kulit dan kelamin. Sebelum belok ke koridor tujuannya, ia berpapasan dengan Mateen membuat langkahnya berhenti. "Dokter Mateen," sapanya ceria. Pria itu menghentikan langkahnya, balas menatapnya.

"Hai Mauri. Ada apa ke sini? Mau jenguk seseorang atau kamu mau periksa ke dokter?"

Mauri tersenyum kalem seraya menggeleng. "Gak dua-duanya. Cuma jalan-jalan aja kok."

"Jalan-jalan di rumah sakit?" Pria itu tersenyum geli. Mauri tertawa malu.

"Bercanda." Lalu menyengir. "Saya ke sini ada urusan. Em... Dokter Mateen sibuk?" Mengamati pria itu yang menggunakan jas putih.

"Iya. Saya mau visit ke salah satu pasien saya."

"Mauri?" Mauri dengan cepat menoleh, menemukan Regan yang menatapnya lalu menatap Mateen.

"Dokter Shaquille," sapa Mateen ramah. Regan hanya mengangguk pelan. Mateen pun pamit pada mereka. Mauri melambai pada pria itu, tapi kemudian berhenti saat merasakan tatapan kakaknya.

Mauri menyengir dan memeluk lengan Regan. "Mas Koko," ujarnya manja.

"Jadi duda itu Dokter Mateen?"

"Iih kok Mas Koko tau?!" Pekik Mauri tertahan berhenti memeluk lengan Regan. Harusnya Mauri tak perlu terkejut dari mana Regan tau, sudah pasti dari Zian. "Eh, enggak kok." Lalu cengengesan, tapi Regan tetap menatapnya datar.

"Ngapain kamu ke sini?"

Ditanyakan tujuannya membuat Mauri mengingat tujuannya ke sini. Gara-gara bertemu Mateen membuatnya lupa sejenak.

"Ada urusan penting. Dah Mas Koko!" Lalu berlari menuju ke poliklinik kulit dan kelamin.

Kening Regan mengernyit. Segera menyusul adiknya itu. Mauri sakit apa sampai harus ke poliklinik kulit dan kelamin?

"Bah!"

Sagara tersentak saat membuka pintu ruang prakteknya menemukan Mauri yang mengejutkannya. Wanita itu cekikikan membuatnya berdecak pelan.

"Ngapain lo ke sini? Lo sakit?"

Mauri berhenti tertawa, menatap kesal Sagara. "Jangan bilang Bang Saga lupa kalau hari ini beliin aku gelato?"

"Ah iya, iya." Sagara menyengir dan kemudian menggeleng pelan. "Ya terus ngapain lo ke sini?"

"Nanti Bang Saga kabur, jadi aku dateng ke sini. Jadwal praktek Bang Saga udah selesai, kan?" Mengamati pria itu tak lagi menggunakan jas putih serta tas ransel yang berada di lengan kirinya.

Suara langkah kaki menarik perhatian mereka. Sosok Regan kini berdiri di dekat mereka, menatap tajam keduanya lalu berakhir pada Mauri. "Lo sakit apa?"

"Sakit? Siapa yang sakit? Aku?"

Regan menatap malas adiknya yang terlihat bingung lalu menatap Sagara.

Lama berteman dengan Regan, tanpa pria itu bicara membuat Sagara paham. "Gue janji bakal traktir Mauri, karena dia kira gue bakal kibulin, makanya dia nyusul."

"Emang Bang Saga kan sering kibulin aku!" sahut Mauri membuat Sagara berdecak pelan.

"Oh." Hanya itu respon Regan, tapi tatapannya pada Sagara seakan berkata, 'Jangan macam-macam lo sama adek gue'.

Sagara kembali berdecak. Regan pun pamit, tapi sebelum itu mengatakan pada Sagara agar mengantar Mauri pulang sebelum pukul delapan malam. Layaknya seorang ayah yang posesif.

"Tadi aku ketemu Dokter Mateen lho," ujar Mauri sesaat Sagara naik ke balik kemudi.

"Ya terus?" sahut Sagara malas seraya menghidupkan mesin mobil. Suara ketukan kaca mobil menarik perhatian mereka. Sagara menurunkan jendela mobil.

MleyotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang