Bukannya langsung pulang setelah melakukan perawatan wajah, Mauri duduk manis di hadapan Zidny yang sedang melakukan panggilan video dengan anak-anaknya. Gavi begitu nakal, apalagi setelah memiliki adik, kenakalan Gavi berkali-kali lipat. Buah yang tidak jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, benar-benar menggambarkan sosok Gavi yang mirip Biru.
"Abang! Sudah berapa kali Mami bilang, Abang gak boleh bikin Adek nangis!" ujar Zidny lembut, tapi tegas.
Mauri diam mengamati. Kalau Mauri punya anak senakal Gavi, sudah pasti suara Mauri tidak akan selembut Zidny.
"Adek nangis sendiri," kilah Gavi.
"Mana ada nangis sendiri? Abang yang bikin Adek nangis, Mam." Suara Biru menyahut membuat Gavi melempar mainan ke arah Papinya tersebut. Bukannya marah, Biru hanya tertawa seraya berlari menggendong Gaishani yang sudah tertawa-tawa setelah menangis. Zidny memutuskan mengakhiri panggilan. Lalu heran menatap Mauri yang ia kira suda pulang.
"Kok belum pulang? Mau bareng?"
"Enggak. Aku naik taksi aja. Kita kan gak searah, Kak."
"Terus?" Zidny tau kelakuan Mauri yang kalau tersenyum manis, pasti ada maunya.
"Aku punya pertanyaan." Mauri berhenti bertopang dagu, melipat tangan di tepi meja yang memisahkan jaraknya dengan Zidny.
"Apa?"
"Menurut Kak Nini, kalau situasi Kakak ada di antara dua laki-laki yang suka sama Kakak, Kakak bakal pilih siapa? Pilih laki-laki yang udah lama Kakak kenal atau yang baru Kakak kenal?"
Alis Zidny terangkat satu menatap Mauri yang terlihat cukup serius lalu ia tertawa.
"Tergantung perasaanmu."
"Maksud Kak Nini?" tanya Mauri tidak mengerti.
"Aku pernah ngerasain hal itu. Berada di antara dua laki-laki. Yang satunya aku kenal dari kecil, dan satunya lagi aku kenal saat SMA. Dan aku pernah menjalin hubungan dengan mereka berdua di waktu yang berbeda. Kembali lagi ke soal perasaan. Hati yang bicara. Dia mau sama siapa, kamu mau sama siapa."
Kepala Mauri mendadak seperti mengerjakan soal persamaan helmholtz. Sangat sulit. Mauri pernah coba-coba mengerjakannya, tapi tetap saja ia tak mendapat jawaban.
"Aku bingung, Kak."
Zidny tertawa melihat ekspresi bingung Mauri. "Emang siapa sih dua laki-laki itu?"
"Duh, aku bener-bener bingung, Kak." Mauri mengerang. "Kata Kak Sharma dan Kak Lea, mereka nyuruh aku lebih baik milih laki-laki yang sudah kukenal lama. Terus dari kisah percintaan Kakak, Kakak lebih milih Bang Biru, itu berarti Kak Nini lebih memilih orang yang sudak kakak kenal lama."
Zidny tersenyum lembut. "Kan aku udah bilang, semuanya tentang perasaan Mauri, hati kamu. Walaupun kamu baru kenal, tapi hatimu srek ke orang itu, ya kamu gak usah milih orang yang udah lama kamu kenal." Zidny menatap penasaran Mauri. "Emang siapa sih?"
"Tapi, Kak Nini jangan kasih tau siapa-siapa ya." Zidny mengangguk. "Bang Saga dan Dokter Mateen." Mauri tersenyum malu-malu.
"Ah Saga." Zidny manggut-manggut. "Gak balikan lagi dia sama Genie?"
Mauri mengendikkan bahu tak acuh. Seketika berpikir lagi. Biasanya Sagara tidak pernah lama putus dari Genie. Baru kali ini hubungan mereka putus selama ini.
Apa benar berarti Sagara memang menyukainya?
Mauri melemaskan badannya, bersandar di kursi seraya mengipasi wajahnya. "Aku gak nyangka Bang Saga sesuka itu sama aku." Lalu tertawa-tawa sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mleyot
Roman d'amour'Mleyot bermakna menyukai sesuatu dengan sangat dan sampai-sampai membuatnya lemas hingga tidak bisa berkata-kata lagi.' Ini ceritanya Mauri, anak gadisnya Malvin dan Auri. Mauri yang kebelet nikah karena iri dengan dua kakak serta teman-temannya. T...