Part 20 - Backstreet

12.3K 1.3K 88
                                    

Sagara sedang melakukan pemesanan di coffee shop yang ada di area apartemen tersebut setelah melakukan jogging, atau lebih tepatnya bertengkar dengan Mauri. Bertengkar bukan dalam artian buruk. Sebelum gilirannya memesan, ia menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Mauri yang sedang duduk di salah satu meja di tempat tersebut.

Mata Sagara mengerjap pelan, bahkan menggosok matanya saat melihat sosok yang duduk di sana. Bukan Mauri dewasa, melainkan Mauri remaja tiga belas tahun. Seperti halnya mimpinya tadi, ia melihat Mauri kecil melambai ke arahnya dengan senyuman lebar.

Sagara tidak pacaran dengan anak kecil, kan?

Sagara bergidik lalu menggeleng keras.
Ia bukan pedofil!

Tersentak saat ia dipanggil, ia menghadap ke depan untuk memesan minuman dan makanan untuk sarapan. Usai membayar ia kembali menoleh ke arah Mauri. Bernafas lega karena melihat Mauri dewasa.

Ada apa dengan dirinya?

Sagara bingung sendiri. Mulai membawa pesanannya setelah jadi.

"Bang Saga duduk di sini!" ujar Mauri seraya menepuk kursi di sisi wanita itu.

"Jangan panggil 'Bang'! Aku pacarmu, bukan kakakmu!" ujar Sagara jengkel karena tadinya mendengar suara Mauri khas remaja saat memanggilnya 'Bang'.

Mauri mengulum senyum, tapi kemudian tertawa geli. Sagara kini duduk di sebelahnya.

Mauri pun teringat sesuatu. Hal yang ia pikirkan dari tadi malam setelah dari apartemen Sagara. Meski mereka sempat melakukan panggilan video mulai dari Mauri tiba di rumah hingga Mauri jatuh tertidur, tapi Mauri ingin membicarakan hal ini secara langsug.

Menggigit fruits sandwichnya lebih dulu dan mulai mengunyah. Setelah menelannya, ia pun mengajak Sagara bicara.

"Ada yang mau aku omongin."

"Apa?" balas Sagara seraya mengusap sudut bibirnya lalu menyelipkan helai rambutnya di belakang telinga.

Selama ini Sagara kerap kali melakukan hal tersebut, tapi entah kenapa kali ini berbeda. Mauri rasanya ingin meleleh.

"Hei!" Teguran Sagara membuat Mauri kembali menatap pria itu lalu menyengir. Kembali mengingat apa yang ingin ia utarakan.

"Kita backsreet!"

Sagara berhenti mengunyah lalu menelan makanannya meski belum sepenuhnya terkunyah. "Maksudnya?"

"Masa Bang Saga gak tau backsreet..."

"Jangan panggil aku, 'Bang'!" Protes Sagara menyela Mauri.

"Iya, maaf. Maksudku masa Mas Saga gak tau backstreet?"

"Apa?" Sagara mengerjap pelan mendengar panggilan Mauri padanya.

"Itu lho, backstreet itu..."

"Bukan, bukan itu." Sagara menyela. "Tadi kamu manggil aku apa?"

"Mas?"

Sagara tersenyum lebar dan manggut-manggut. Masih dengan senyumnya, ia berujar, "Kenapa panggil aku Mas?"

"Panggilan Muffin gak cocok. Soalnya Mas Saga udah tua."

"Dasar kamu!" Mauri tertawa saat Sagara mencubit punggung tangannya. Tentu bukan cubitan yang menimbulkan rasa perih di kulit, karena Sagara menyentuh punggung tangannya dengan ringan.

"Kenapa mesem-mesem?" tanya Mauri melihat Sagara masih senantiasa tersenyum.

Sagara menggeleng pelan. "Kamu mau ngomong apa tadi?"

MleyotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang