14th - Jalan Buntu

114 13 157
                                    

"Wanita kalo udah bales dendam serem ya." - Rei

------------------------------

"Aku bukan gak mau ngasih tau, tapi ini tuh bukan hal besar, jadi aku rasa, kamu gak perlu tau."

Bahkan setelah ia bangun tidur, kalimat itu masih sama menyakitkannya ketika terputar kembali di otak.

"2 taun sama 5 taun? Ya jelas aku kalah."

Rei berjalan ke mini bar, mencari sesuatu yang bisa membasahi kerongkongannya, menenggak habis white wine sisa semalam, lalu menertawai dirinya sendiri.

"Cuma Kama kan yang boleh tau luar dalemnya kamu? Hahaha tai."

Ia berjalan menuju meja kerjanya yang terletak di dekat jendela, mengamati sejenak sebuah tiket pesawat yang Tisya berikan semalam, lalu menyobeknya.

Rei memandang jauh ke luar jendela, melihat bagaimana nyiur melambai-lambai tertiup angin pagi. Mungkin berjalan-jalan di garis pantai bukan ide yang buruk. Ia mencari kaus santai di lemari, melapisinya dengan jaket trucker hijau tua, menatap pantulan dirinya di depan cermin, lalu keluar dari kamarnya yang luar biasa berantakan. Ia berhenti sejenak di depan nakas, dimana ponselnya yang beberapa kali menyala, dan mengantonginya.

Di pertengahan lobby, ia bertemu Tisya yang sepertinya baru selesai sarapan, terlihat dari gumpalan tisu bekas di tangannya, serta sisa-sisa minyak di bibir perempuan itu.

"Kenyang?" tanyanya saat mereka telah berdiri dalam jarak dekat.

"Eh?"

Tisya memindai pakaian Rei yang 180 derajat berbeda dari yang biasa dipakai. Kaus oblong, serta celana pendek bahan berwarna cappucinno, menampilkan sisi lain dari atasannya.

"Bapak...mau kemana?"

"Jalan-jalan keluar sebentar, mumpung libur. Mau ikut?"

Tisya menggeleng, "Saya belum mandi," ia menilik jam di ponselnya, "Apa gak sebaiknya Bapak siap-siap? Satu jam lagi kan flight-nya?"

"Saya cancel."

"Kenapa? Bukannya Bapak kemarin yang minta saya buat cari penerbangan sepagi mungkin hari ini?"

"Kayaknya Hana gak perlu ditemani, udah ada orang lain yang bersedia soalnya."

"......"

Rei mengangsurkan access card kamarnya, "Tolong rapihin kamar saya ya, berantakan banget, sama tolong cariin file yang diminta client kemarin, kalo gak salah ada 2 atau 3 rangkap, mau saya review nanti."

"Baik, kalo gitu, saya naik ya, Pak. Selamat bersantai."

Rei masih diam di tempat sampai Tisya benar-benar menghilang dari pandangannya. Namun matanya menyipit saat melihat punggung yang baru menjauh beberapa meter darinya itu.

"By the way, Tisya," Rei berdeham, "Kamu...berdarah."

Tisya melotot dan spontan menengok ke bagian belakang celananya, lalu menatap Rei untuk sesaat.

"Mau saya--"

Rei sudah berniat melepas jaketnya saat Tisya terus berjalan semakin mundur dan hampir menabrak Bellboy kalau saja ia tidak menarik lengan perempuan itu.

"Perlu saya beliin pembalut dulu?"

"Gak usah, Pak. Saya bawa kok di koper."

Rei membiarkan asistennya ikut masuk ke dalam lift bersama beberapa petugas hotel. Bau air laut beserta pasir basah menyambut hidungnya saat ia telah sempurna keluar dari kawasan hotel.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang