32nd - Bunyi Nitnitnit

111 12 79
                                    

"Gue adalah sebuah kekalahan yang pernah memaksa untuk menang." - Kama

-----------------------------------

"Pak--eh? Wow. Pemandangan langka ngeliat Rian uncang-uncang kaki di atas meja sambil scroll Tiktok. Gak ada kerjaan?"

"Tuh," dagu Rei mengedik pada tumpukkan dokumen juga laptop yang terbuka, "Mau ngapain?"

"Itu, nasib ID card gue gimana ya? Masa gue harus tuker KTP terus tiap masuk kantor."

"Gue udah bilang Mbak Vita lusa kemaren, coba lo follow up lagi, harusnya udah jadi."

Nana mendengus, "Udah, gue tadi udah ke Admin, katanya punya gue belom bisa diproses soalnya bagian Personalia lagi pada gak di kantor."

"Yaudah."

"Kok yaudah? Terus akses masuk kantor gue gimana?"

"Ya tuker KTP dulu aja di resepsionis, sementara doang sampe ID lo jadi."

"Kayak bocah magang--lo bisa turunin dulu gak kaki lo? Gue lagi ngomong."

Rei menatap kakinya dan wajah Nana yang jaraknya tidak terlalu jauh secara bergantian, "...oh," kakinya ia tarik turun dan diposisikan sebagai mana mestinya, "Yaudah gitu pokoknya. Sementara tuker KTP dulu atau kasih tau ke security gedung kalo lo free access, bilang gue yang nyuruh, gitu."

"Nanti gue disangka oknum pelaku nepotisme."

"Bukannya emang iya?" Rei bertanya yang lebih mirip sindiran dengan sebelah alis tertarik naik.

Nana berdecak kencang dan menghentak kakinya sekali, "Gue lagi serius, anjing. Tolongin gue. Bilangin ke Mbak Vita suruh duluin punya gue."

"Mana bisa? Kan tadi kata lo Personalia lagi pada gak ada."

"Bisa kali kalo lo yang ngomong."

"Gak bisa, Na."

Rei tetap pada pendiriannya selama beberapa saat hingga Nana menaikturunkan alisnya dengan maksud terselubung. Ekspresi Rei berubah datar, ia menadah tangan, bermaksud meminta ponsel Nana.

"Pake telpon ruangan lo emangnya kenapa?"

"Kerekam. Gue ogah ikut-ikutan dituduh sebagai pelaku nepotisme."

"Yaudah hape lo aja."

Tangan Rei masih setia menadah di depan perut Nana, "Gue gak punya nomor Mbak Vita."

"Gue kasih."

"Lo mau gue tolongin gak? Nawar mulu perasaan."

Dengan gerakan penuh ketidakikhlasan, Nana meletakkan ponselnya di atas meja Rei. Seperti newly weds pada umumnya, lock screen juga home screen Nana dipasangi foto dirinya dan sang istri yang memegang buku nikah saat akad. Oh iya, jangan lupakan seluruh foto profil akun media sosial yang Nana punya juga ikut diganti dengan satu foto yang sama.

Namun, hal itu tidak berlaku pada Septi. Foto profil wanita itu masih sama seperti sedia kala, sebelumnya dirinya dipinang Nana. Septi hanya mengunggah satu foto dirinya yang terbalut gaun putih. Tolong garis bawahi, hanya dirinya, tanpa Nana.

Rei jadi curiga sebenarnya Septi ogah-ogahan menikah dengan Nana.

"Mbak Vita nama kontaknya apaan?"

"Vita Adm emot toa."

Menemukan tulisan yang sesuai dengan ucapan Nana, Rei langsung menekan ikon telepon, menunggu beberapa saat hingga dengusan lelah dari seberang menjadi pembuka obrolan.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang