38th - Pesadilla

89 10 53
                                    

"Saya gak baik-baik aja juga gak akan ada yang berubah di hidup Mas Abi." - Rei

------------------------

Potongan telur rebus yang ditusuk di garpu masuk ke mulutnya dengan sempurna. Erika tidak mau usahanya berkutat di dapur pagi-pagi jadi sia-sia hanya karena Hana yang lebih memilih melamun dibanding melahap apa yang telah ia bawa dari rumah. Sendok penuh nasi dan potongan bakwan jagung sudah menggantung di udara, namun tak kunjung disambut oleh Hana.

"Mangap."

Hana bergeming dan tangan Erika mulai kebas memegang sendok. Ujung sendok telah menyentuh bibir Hana yang mau tak mau membuat mulutnya terbuka.

"Jangan bikin diet gue gagal. Gue gak mau ngabisin nih nasi. Jadi lo yang harus nampung."

Pipi yang awalnya menggembung karena nasi yang belum tertelan kini telah terlihat datar lagi. Hana membuang muka saat Erika menyodorkan sesendok lagi masakannya. Keduanya membuang nafas kasar. Tutup Tupperware kembali Erika pasang dan ia simpan kotak makan itu di tasnya. Erika menyangga kepala dengan tangan, mengamati Hana yang jarang sekali menatap ke arahnya.

"Lo kenapa deh?" Erika mencolek bahu Hana yang hanya terdapat satu tali tipis di sana, "Gue kan ngajakin lo keluar pagi buat menikmati masa-masa lo sebagai pengangguran, bukan malah bengong."

"Anak-anak punya grup lagi ya di Whatsapp yang gak ada guenya?"

Erika mengernyit, "Apaan? Enggak. Kenapa lo nanya begitu?"

Hana menggeleng lemah, "Kirain, soalnya udah lama banget gak ada notifikasi dari grup."

"Lo kan tau, grup idup kalo lagi ada maunya doang."

"Er," Hana menjatuhkan kepalanya di bahu Erika, "Lo tau gak kalo Rei sekarang di Surabaya?"

"Mustahil kalo gue gak tau. Gue yang anter dia ke bandara."

Deru nafas Hana terdengar makin berat di telinga Erika. Kepalanya bergerak tidak tentu, mencari posisi ternyaman yang sulit ia temukan. Hana gelisah.

"Berarti gue satu-satunya yang clueless di sini ya?"

Erika berdecak, lalu menjauhkan kepala temannya, ia duduk sedikit berjarak agar lebih leluasa melihat Hana dengan matanya yang menghakimi.

"Lo mah bukan clueless, tapi bodo amat sama sekeliling lo." Erika berterus terang.

Lantas, Hana menilik lagi ke chatroom miliknya, ada saja pesan yang ia terima setiap 2 menit sekali. Entah dari grup kantor, koleganya, atau dari grup yang dibuat dadakan untuk mendiskusikan malam keakraban kampusnya dulu. Dari sekian banyak pesan yang ia terima, tidak ada satupun yang membuat Hana tertarik untuk membukanya. Kontak Rei masih setia berada di baris paling atas, tersemat bersama nama Mas Abi. Kadang Hana berharap, ceklis abu-abu itu berubah jadi biru atau paling baiknya, ada angka satu di ujung baris itu.

Rindunya kembali mencuat. Matanya tetap meredup sampai dimana ia mendapat notifikasi dari Twitter yang menunjukkan aktivitas baru dari akun @riandris. Hana duduk tegak, menekan pemberitahuan yang tadi membuat korneanya melebar. Sebuah cuitan yang membuat Hana mengernyit bingung.

Empat.

Hanya itu. Tanpa imbuhan lain. Hana tidak membuang waktu, ia beralih ke DM dan ibu jarinya membeku di sana. Saking banyaknya yang ingin Hana utarakan, ia jadi bingung, mana yang harus didahulukan.

hanajdr

Where r u tho?

Gak mau pulang aja?

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang