9th - Jus Alpukat

96 12 115
                                    

"Excuse me, what did you say? Cowo gue? Sembarangan!" - Erika

-----------------------------------

"Maaf, maaf banget. Aku gak tau kalo Erika ke sini sama Septi."

"Sshhh," Rei membenahi selimut Hana yang terus turun akibat tangannya yang meremas perut, "Gapapa, gak usah dipikirin ya. Nanti aku yang pastiin, Septi gak akan ngomong ke siapa-siapa lagi."

Hana tidak mengerti apa yang salah dengan dirinya, sakit yang ia rasa sejak tadi tak kunjung hilang, bahkan semakin menjadi, dan kini ulu hatinya ikut sakit. Nafasnya tersengal, keringat juga tidak mau berhenti keluar.

"Hana, kamu bisa dengerin aku gak kali ini aja," Rei mengusap keringatnya dengan punggung tangan, "Ke rumah sakit ya, keringet kamu gak mau berhenti dari tadi, badan kamu gemeteran, there's something wrong with you," ia menghela nafas, "And the baby too."

Hana bukannya tidak mau mendapat penanganan, ia hanya takut, takut untuk mendengar sebuah diagnosa dari mulut dokter, takut jika memang benar ada yang salah dengan kandungannya.

"Dengan kamu yang keras kepala kayak gini, bikin semua orang khawatir. Ini pertama kalinya buat kamu, kamu belom ngerti apa-apa, begitu pun aku, so please, let me take you to hospital."

"Aku takut kalo harus di-opname."

"Ya emang kenapa sih kalo harus nginep di rumah sakit? Aku bakal ambil cuti buat nemenin kamu, aku cancel kerjaan aku di Makassar nanti."

Hana tetap menolak, "Aku harus ke Gianyar lusa sama Pak Javi." lirihnya.

"Kamu gak boleh pergi kemana-mana. Nanti aku yang bilang sama Mas Javi."

"Rei--"

Pintu kamarnya terbuka, lalu kepala Septi muncul dari sela yang ada.

"Rian, bisa kita ngomong sebentar?"

Rei kembali menoleh ke arahnya, laki-laki itu hanya diam mengamatinya selama beberapa saat, lalu berdiri, dan keluar dari kamar. Hana memilih tetap bergelung di balik selimut selagi kekasihnya disidang.

Rei duduk bersandar dengan jari telunjuk dan ibu jarinya yang bergerak memijat pangkal hidungnya, sementara Septi masih menatap dalam diam sebuah botol vitamin di atas meja yang entah Hana dapatkan dari mana. Lain hal dengan Erika yang seakan acuh tak acuh sambil memainkan kuku khas buatan nail artist miliknya.

"Menurut lo, apa yang lo lakuin selama ini udah bener?" akhirnya perempuan itu bersuara.

Kedua alisnya tertarik naik, "Apa?"

"Nyembunyiin Hana...dari kita."

Mulutnya sedikit terbuka, tatap matanya menandakan bahwa Rei tidak percaya atas perkataan Septi yang seakan menuduhnya(?)

"What the--gue? Gue nyembunyiin Hana?" sebuah tawa sarkas keluar dari mulutnya, "Wah, gila. Lo baru tau 0,5% dari fakta yang ada, lo baru nyentuh tepinya, tapi lo udah bisa nuduh gue yang enggak-enggak. Maksud lo apa?"

Septi menarik punggungnya untuk duduk lebih maju, agar ia lebih leluasa mendengar betapa pahitnya tiap kata yang keluar dari mulut Rei, "Selama 3 taun kita nyari keberadaan Hana dan selama itu juga lo pura-pura gak tau. Lo bersikap seakan lo ada di posisi yang sama dengan Nana, Jericho, Kama, Haikal...gue, lo bikin semua orang mikir kalo lo juga kehilangan Hana, tapi nyatanya--" ia kembali membanting tubuhnya, kepalanya menggeleng selagi menertawai lakon cerita yang sedang dimainkan laki-laki di depannya.

"Gue gak pernah nyembunyiin Hana, gue berkali-kali bilang ke dia, kalo dia mau ketemu sama yang lain, yaudah, silahkan. Gue. Gak. Pernah. Ngelarang. Lo boleh tanya Hana, mana yang bener, gue yang ngelarang dia atau dia yang emang gak mau ditemui? Silahkan." tangannya terangkat menunjuk ke pintu kamar.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang