21st - Agak Bajingan

120 14 217
                                    

"Sama aku tuh sederhana aja, kamu gak mau posting muka aku di semua akun sosial media kamu ya gapapa. Aku gak butuh pengakuan dari ribuan followers kamu itu." - Rei

-------------------------------

"I don't give a fuck, Sil. Gue gak peduli apapun yang ada di antara lo dan Mama, gue gak mau tau, yang jelas lo udah berani berdiri di tengah-tengah hubungan gue. Lo bikin segalanya jadi sulit."

Rei menyugar rambutnya kasar. Sesekali ia melirik ke arah mobil, dimana Hana masih menunggunya setelah makan siang yang mendadak rasa guramenya menjadi hambar.

Sysil hanya diam, menatap ujung-ujung sepatunya. Rambut yang digerai, terjuntai ke bawah, ikut menutupi sebagian wajahnya.

"Lo nutup satu-satunya jalan yang gue punya."

"Rei--"

"Gue gak minta lo buat ngertiin gimana susahnya gue, tapi gue mau, sebagai sesama wanita, lo ngertiin perasaan Hana. Dia lagi ngebawa anak gue, dan dengan senang hati kita akan menyambut itu. Apa lo gak ngerasa malu atau gimana gitu jadi penghalang kebahagiaan orang?"

Apa yang lebih menyakitkan dari ini? Kehadirannya tidak diinginkan. Dalam hatinya, Sysil menangis, kencang sekali, bahkan jika bisa ia utarakan, suaranya mungkin akan habis tak tersisa. Hanya dirinya yang tahu bagaimana tangisnya ia redam setiap malam, bekas air mata yang tertinggal di sarung bantalnya menjadi saksi bahwa Sysil juga tidak mau hidup seperti ini.

"Berdiri di tengah jalan cuma akan memperbesar resiko lo tersakiti, atau lebih buruknya mati. Jadi, mending lo minggir, cari aman."

Setelahnya, Rei meninggalkan Sysil dalam lara yang mengurung, berdiri di dalam bayang-bayang menyakitkan tanpa wanita itu mengerti, bahwa tidak ada yang bisa menyembuhkannya kecuali dirinya sendiri.

Dari dalam mobil, Hana menatap sendu Sysil yang berdiri sendirian di tengah teriknya matahari.

"Is she okay?" tanpa menoleh, Hana menyadari kehadiran Rei di sampingnya.

"No."

"What have you done to her?"

"Sedikit tamparan imajiner."

"You don't need to be rude to her."

Rei menoleh sekejap, lalu kembali menatap lurus ke depan dan mulai menjalankan mobilnya untuk kembali ke kantor, "Here we go again, Hanaya si orang paling gak enakkan."

"Ya gak gitu--"

"Sya, setelah saya sampe kantor, kamu gak usah turun ya, langsung anterin istri saya ke butik. Dia mau ngambil pesenan."

"Babe--"

"Sama abis itu langsung anterin istri saya pulang."

"Istri, Pak?"

Rei mengangguk pasti, "Iya, istri saya."

"Istra istri istra istri. Nikahin dulu, baru bisa bilang istri."

Rei menoleh dengan cepat ke belakang, "Latisya, tolong kasih tau dia, berapa lama waktu yang udah saya habiskan untuk menunggu jawaban dia."

Tisya memajukan tubuhnya hingga ke celah yang ada di antara 2 bangku depan, "Seminggu, Bu. Terus kata Bapak, kalo sampe besok Ibu gak ngasih jawaban juga, apartemen Ibu mau dijual."

"Apaan?!"

"Iya, Bu. Mending dijawab sekarang, gapapa kalo Ibu nolak juga, yang penting dijawab."

"Ya gak gitu juga, Tisya! Kamu harusnya dukung saya dong!" Rei bereaksi keras dengan kaki yang spontan menginjak pedal gas lebih dalam.

The Sound of Longing | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang