"Yaudah deh. Semoga nanti di jalan kamu ketemu jodoh ya. See you, Kamajaya!" - Hana
-------------------------------
"Ekspektasi aku tuh kamu cuma makan di rumah Tante doang. Aku tungguin sampe jam 1 malem gak pulang-pulang. Kalo mau nginep bilang dong!" Hana sibuk dengan strap heels-nya sembari mengapit ponsel di antara bahu dan telinganya. Dia harus berangkat lebih awal karena hari ini taksi yang akan mengantarnya bekerja.
Segala yang ia lakukan pagi ini menjadi riweuh karena keabsenan "supir" pribadinya. Di tangannya penuh barang-barang yang belum sempat ia lekatkan di tubuh, seperti lanyard ID Card, jepit rambut, juga tumblr berisi susu paginya. Belum lagi strap heels yang sulit untuk dikaitkan, membuatnya melompat-lompat kecil selagi berjalan keluar melewati pintu.
"Kamu tuh aku ajak ngomong malah nguap. Kamu kerja gak sih?"
"Enggak. Males."
"Jemput aku dong kalo gitu. Aku tuh ribet--aw!" tangan Hana menyangga tubuhnya di dinding lorong karena strap heels yang terbuka dan membuat kakinya hampir terkilir, lalu kembali berjalan cepat, "Aku tuh ribet pagi-pagi belom nyari sarapan terus susu aku juga--duh! Ah! Copot mulu!"
"Apanya yang copot?"
"Heels!" Hana berhasil memasuki lift saat jam di ponselnya berada di angka 07.35. Hana pasti telat, belum lagi menunggu taksi lewat.
"Mau kemana pake heels segala? Jangan sering-sering pake heels ah, bahaya."
"Diajak Pak Javi ketemu Direksi. Ini pasti aku belom sempet sarapan kalo gini ceritanya."
"Siapa suruh gak nyari sarapan dulu?"
"Ya kan biasanya kamu yang nyariin aku sarapan. Aku kira kamu bakal pulang pagi ini."
"Bosen aku ketemunya kamu lagi, kamu lagi."
Hana mendengus sebal. Sejak kakinya menjejak keluar dari lift, ia berlari kecil, menunggu di pinggir jalan hingga taksi biru berhenti di depannya 3 menit kemudian.
"Kalo aja aku gak kesiangan, aku bakal maki-maki kamu, tapi aku harus nyimpen tenaga buat nanti. Marah-marah ke kamu butuh lebih dari sekedar energi tau gak," Hana melangkah masuk ke taksi yang pintunya telah ia buka, memberi kartu namanya yang juga tertera alamat kantor kepada supir di depan, "Ini gimana dong sarapan aku? Aku lagi pengen lontong sayur sama bakwan panas."
"Gimana yaaaaa?"
Terdengar jelas di telinga Hana, laki-laki itu merenggangkan tubuhnya, lalu menghembus nafas panjang, dan kembali menguap.
"Rei! Aku laper!"
"Makan kalo laper."
"Aku serius!"
"Apalagi aku," entah sudah ke berapa kalinya Rei menguap di telepon, membuat siapapun yang mendengar jadi malas untuk berbicara lagi, "Dengerin kamu marah pagi-pagi gini bikin aku ngantuk. Udah ah, aku mau tidur lagi. Nanti jam 2 an aku jemput buat check up."
"Calon istri kamu ini lhooo belom sarapan."
"Preeet."
Teleponnya dimatikan oleh orang yang sama sekali tidak mau tidurnya diganggu. Hana menghabiskan perjalanan ke kantornya dengan kedua alis yang menukik karena badmood. Sumpah, pagi ini rasa laparnya tidak bisa ia tahan. Hana hampir menangis hanya katena tidak menemukan apapun di kulkasnya untuk mengganjal perut.
Tatapnya ke luar jendela diputus oleh getaran kecil berkali-kali dari ponselnya, menampilkan notifikasi grup dimana Nana pasti menjadi orang pertama yang muncul. Kalau bukan nama temannya yang ada di sana, Hana hampir lupa eksistensi grup yang namanya ternyata baru diganti semalam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sound of Longing | Huang Renjun
أدب الهواة"It's about silence that sounds so loud." Waktu tidak pernah menjanjikan suatu pertemuan, tapi ia janji, apa yang seharusnya berada di lorong itu, selamanya akan tetap berada di sana. 3 tahun berjalan, Hana menemui kebuntuan di jalan gelap tanpa pel...